Mereka bertiga akhirnya memasuki pintu masuk hotel terbaik di kota tersebut. Irene tampak tersenyum ramah ketika penjaga pintu menatapnya dengan bingung lalu mengambil sepedanya. Irene lalu mengucapkan terima kasih kepada penjaga pintu itu dan memberi salam sederhana.
Irene duduk tepat berada di seberang duke Sean, tepat kebetulan sekali. Irene terlihat menundukkan kepalanya dan menatap pahanya untuk menghindari tatapan dingin pria itu.
Bagaimana tidak? duke terus menatapnya dengan santai seolah-olah tidak ada yang terjadi di sungai. Hal itu benar-benar membuat Irene takjub dengan sikap pria itu. Padahal seharusnya dia malu karena ketahuan telanjang oleh orang lain.
Tapi kalau dipikir-pikir, bagi bangsawan, pelayan tidak lebih dari sekedar patung. Sepertinya perspektif duke pun seperti itu, yaitu tidak ada kata malu karena telanjang di depan patung. Dan seharusnya ia pun tidak terkejut saat melihatnya telanjang.
Seperti yang diharapkan, mereka telah melupakan keberadaan Irene. Yeri dan Sean terliat asyik melanjutkan diskusi mereka sendiri. Mereka membicarakan tentang pameran, kerabat, teman, rencana akhir pekan, pesta yang akan datang, dan semua topik yang mungkin terlintas di benak mereka.
Suara lembut Sean dan nada tinggi dari Yeri sangat tumpag tindih. Irene bingung mengapa mereka membawanya jika mereka asik mengobrol sendiri. Selalu seperti ini, Ia selalu gagal memahami semua tindakan Yeri sejak pertemuan pertama mereka dulu.
"Jadi Irene, bagaimana sekolahmu? apa kau menikmatinya?" tiba-tiba Yeri membuka obrolan untuknya. Yeri bertanya seolah-olah dia berbicara kepada seorang anak, padahal mereka seumuran.
"Ya, nona" jawab Irene dengan sopan. Ini semua dengan paman Yunho, ia tidak akan membuat kesalahan apapun yang dapat membahayakan pekerjaan paman.
"Bukankah kau akan lulus tahun depan?" suara ramah dari Yeri terdengar kembali meski Irene hanya akan memberikan jawaban pendek.
"Ya, nona"
"Setelah lulus apa yang kamu inginkan?"
"Saya akan mendaftar ke program mengajar untuk mendapatkan sertifikat"
"Oh.. kau ingin menjadi guru?" Yeri tersenyum kecil sambil meraih cangkir tehnya.
"Guru adalah pilihan yang bagus. Sepertinya cocok sekali untukmu" Yeri tersenyum sekali lagi memuji Irene atas mimpinya yang mengagumkan, "Benar kan duke Sean?"
Secara tak sengaja Irene mengalihkan fokusnya ke Sean. Dan ia pun buru-buru menurunkan pandangannya saat ia mulai menyadari jika terlalu lama melihat duke.
"Benar" dengan tenang, Sean setuju sambil menatap lekat kearah Irene.
Kehadiran Irene kemudian tampak tidak penting lagi. Ia sangat tidak nyaman berada diantara mereka, rasanya ia ingin sekai pergi seepat mungkin.
Seharusnya ia menemui Loey hari ini karena ia sudah berjanji. Ia jadi kahwatir akan datang terlambat untuk janjinya.
Irene yang cemas pun mengangkat kepalanya. Pada saat yang sama Sean menoleh dan menatapnya. Irene kali ini tidak menghindari kontak matanya, ia malah membalas tatapan dalam itu.
"Um, saya minta maaf, Duke, nona. Apakah kalian keberatan jika saya permisi lebih dulu? kebetulan saya sudah memiliki janji dengan teman"
Irene menatakannya dengan ekspresi cemas di wajahnya. Tapi segera, eskpresi gugupnya menghilang dan dia menghela napas lega setelah Yeri tersenyum, mengangguk, dan memberikan izinnya.
Setelah memberi salam, Irene langsung berbalik dan berjalan dengan cepat keluar dari hotel. Ia segera mengayuhkan sepedanya melewati jalanan yang ramai. Namun ada sesuatu yang aneh, semakin ia mengayuhkan lebih ajuh sepedanya, semakin ia teringat dengan wajah duke. Sambil menghela napas panjangnya, Irene merenung. Ia tak percaya jika telah terhipnotis oleh Duke.
KAMU SEDANG MEMBACA
Arthdal (Cry, Beg, and Smile)
Fiksi PenggemarIrene Bae menjadi yatim piatu diusia sangat mudah. Ia kemudian merasa menjadi gadis paling beruntung di dunia saat diterima oleh pamannya, Yunho, seorang tukang kebun yang tinggal di perkebunan Arthdal. Hingga pertemuannya dengan sang pangeran membu...