J | CH-13

12K 1.3K 66
                                    

Jio dan Joa berdiri berdampingan disebelah gerobak cilok, menunggu giliran mereka dilayani penjual.

Sejak tadi, Jio terus berjinjit, bergerak rusuh karena penasaran dengan apa yang tengah penjual cilok itu lakukan. Atau, Jio penasaran dengan isi dari gerobak tersebut.

Joa berdecak kesal. Menarik rambut sang adik agar lebih dekat dengannya. "Diem!"

Jio langsung terdiam dibuatnya. Anak empat tahun itu mendongak menatap kakak dengan mata yang sudah terlapisi air. Rasanya ingin menangis, tarikan dikepalanya cukup kencang.

"Makannya jangan usil," Ucap Joa lagi. "Kalo nangis tak tinggal lari."

Sekuat tenaga Jio menahan diri agar tidak menangis. Meski begitu, kedua mata Jio sudah memerah dan terlapisi air.

Iseng-iseng agar teralihkan, Jio menyentuh gerobak menggunakan jari telunjuknya. Rasa panas langsung mejalar dijarinya, membuatnya terkejut.

Meraih pergelangan tangan adiknya, lalu menyentak kasar. "Dibilang diem! Usil banget."

Jio ingin menangis saja rasanya.

Tapi, nanti ditinggal kakak.

"Joa, kayak biasa?" Penjual itu mengajukan pertanyaan. Tidak perlu ditanya lagi, penjual cilok langganan Joa itu sudah hafal dengan pesanan Joa.

Tersenyum hingga menampilkan deretan giginya. "Iya, bang. Sama bungkusin lima ribu lagi, nggak usah dikasih apa-apa."

"Siap," Melirik Jio sekilas. "Buat adek?"

"Iya. Usil bang, lagi butuh daging nggak?"

Si bungsu Dewangga kian merapatkan tubuhnya pada sang kakak, menyembunyikan wajahnya dibalik lengan Joa.

Kepala kecilnya memikirkan perkataan Joa. Apakah, ia akan dijual dan dijadikan cilok? Semakin merapat ketubuh kakak, semakin kuat Jio menahan tangisannya.

Melihat bahasa tubuh Jio, si penjual tertawa kecil sembari mengulurkan pesanan Joa. Cilok dan saus ekstra. "Jangan nangis dek, cuma becanda. Lagian cilok Abang nggak pake daging kok," Melihat anak empat tahun itu mendongak dengan mata ketara memerah membuatnya tak tega. Buru-buru penjual cilok itu membungkus untuk Jio dan melebihkan beberapa cilok.

Jio hanya diam saat penjual cilok itu mengulurkan plastik berisi cilok.

Menepuk keras punggung Jio. "Malah diem aja," Dan Jio masih diam tanpa pergerakan. Joa berdecak kesal. "Diambil ciloknya, bodoh!"

Dengan ragu, telapak tangan mungil Jio menerima uluran cilok. Jio memegang erat berisi banyak cilok. Spontan, bibir Jio tersenyum saat melihat banyaknya cilok didalam plastik.

Terlihat enak.

"Ini bang uangnya."

Buru-buru Jio mengikuti langkah Joa. Kaki kecilnya sulit menyamai langkah kakak, membuat Jio semakin mengeratkan tangannya agar cilok yang ia bawa tidak jatuh saat ia berlari mengejar Joa.

"ANAKKU!"

Joa menoleh kebelakang. Matanya membulat saat melihat seorang wanita tengah berlari kearahnya.

Itu, adalah orang dalam gangguan jiwa yang selalu menganggu anak-anak. Menganggap semua anak kecil adalah anaknya.

Tanpa memikirkan adiknya, Joa berlari kencang menuju rumah. Meninggalkan Jio yang sudah menangis kencang karena ditinggalkan.

"Eh, kok nangis ... Ibu disini, anakku," Wanita itu memeluk Jio erat, Jio semakin histeris dibuatnya. Jio takut.

"Jio mau pulang," Kepalanya mendongak dengan mata terpejam. Jio menangis. "Abang Gara."

J1 [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang