J | CH-16

13.4K 1.2K 56
                                    

Sosok anak empat tahun yang memakai hoodie kebesaran itu mengenggam erat telapak tangan Nia disepanjang perjalanan menuju sekolah. Memutuskan untuk berjalan kaki, sembari menikmati udara pagi yang terasa sangat sejuk.

Awalnya Jionathan menolak memakai Hoodie, rasanya ribet dan menghalangi setiap langkahnya. Namun saat tatapan kakak sulungnya berbeda dari biasa, Jio terpaksa memakai pakaian tebal tersebut.

Bau khas pakaian baru masih dapat tercium jika berdekatan dengan Jio.

"Dingin nggak dek?" Tanya Nia disela-sela langkahnya.

Yang ditanya mendongak, menyengir kearah yang lebih tua. "Kan io pake baju dua," Maksudnya, dua lapis.

"Gambar apa itu?" Menunjuk bagian perut Jio.

Menunduk, menatap gambar yang Nia maksud. "Gambar pesawat!" Pekiknya.

Nia tertawa. Baru menyadari jika tuan kecilnya  begitu menyukai pesawat. Bahkan tadi pagi, Jio tidak mau melepas baju pilotnya. Menangis dan terus menahan tangan Nia yang hendak melepas kancing bajunya.

"Io mau jadi naik pesawat nanti kalo udah besar, udah tinggi kayak sama Abang."

"Iya?"

"Iya!" Mengangguk yakin. "Tapi io harus sekolah yang banyak biar naik peswat pas udah kayak abangnya io," Ungkapnya. Seolah memberitahu Nia, menganggap kalau Nia belum tau tentang hal itu.

"Jadi dek io harus sekolah yang semangat, oke?"

"Um!"

Sembilan menit kemudian, mereka sampai disekolah Jio.

Anak empat tahun itu langsung memekik senang dengan telunjuk mungilnya menunjuk kearah sekolahnya. Jio terlalu senang hari ini, ada yang mengantarnya sekolah.

Nia tersenyum melihat tingkah laku Jio. Nia juga tersenyum ramah, menyapa ibu-ibu yang lain.

"Dek io masuk sendiri, ya? Bibi tunggu disini."

Mendongak. "No no ...  Bibi Nia ikut io sekolah kesana," Menunjuk pintu kelasnya.

"Eh? Tadi Abang Gara bilang apa sama io?"

Dahi Jio menampilkan sebuah kerutan, anak itu kembali mengingat apa yang kakak sulungnya katakan sebelum ia berangkat ke sekolah.

Karena Jio tak kunjung mengingat, Nia menyamakan tingginya. "Dek io nggak boleh manja, harus sekolah sendiri. Bibi cuma nganterin dek io, jadi harus nunggu diluar. Kan, yang sekolah dek io bukan bibi."

"Bibi Nia enggak pulang lagi?"

Menggelengkan kepalanya, lalu tersenyum. "Enggak."

"Mana kelingkingnya," Nia langsung menuruti perintah Jio. Kelingking kecilnya dengan kelingking Nia membelit satu sama lain. "Kata Cantik kalo udah kelilingkingnya kayak gini enggak boleh bohong, nanti kalo bohong ... Enggak boleh. Enggak boleh bohong kalo udah kelingking."

Nia terkekeh, tangannya terangkat mengusap pipi tuan kecilnya yang mulai berisi.

"No no," Mimik wajahnya tampak serius. Jio hanya ingin bibi Nia berjanji, bukan malah tertawa.

"Janji," Ucap Nia. "Sekarang dek io masuk, Salim sama Bu guru. Bibi tunggu disini sama ibu-ibu yang lain."

***

Suasana kelas A taman kanak-kanak sangat ramai. Anak-anak berlarian, tertawa, berteriak, bahkan ada yang bertengkar karena berebut mainan meskipun banyak mainan dengan rupa yang sama.

Elfina masih berusaha memisahkan dua anak yang tengah berebut mainan.

Meninggalkan keributan diruang kelas, disisi lain Jio duduk anteng sembari menempel kertas-kertas kecil berwarna ke kertas putih yang sudah ada gambar balon udara, bersama seorang gadis kecil dengan jepitan kupu-kupu berwarna.

J1 [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang