Memang tak mudah bagi Seonghwa untuk melepas pikirannya dari apa yang ia lihat di gereja. Sedari tadi, ia masih setia menatap layar laptopnya. Berusaha keras untuk mengutak-atik informasi yang ada. Beberapa kali ia mencoba mencari informasi terkait gereja itu, namun tak ada satupun yang bisa ia dapatkan. Dalam peta pun, Hutan Selatan adalah tempat yang tidak bisa diakses. Bagi Seonghwa itu tidak cukup. Ia butuh seseorang yang tahu dengan benar tempat itu.
"Joong, apa kau punya kenalan atau teman seorang yang cukup ahli dalam hal semacam ini?" tanya Seonghwa tanpa menatap Hongjoong.
Pemuda itu mendengus kesal karena tak mendengar jawaban dari Hongjoong yang sudah ia tunggu sejak tadi. Ia menoleh ke arah orang yang membuatnya kesal tersebut, dan mendapati anak itu sedang bermain game kesukaannya. Mau tak mau Seonghwa menghampiri Hongjoong untuk menegurnya.
Ini bukan waktunya untuk main-main, begitulah pikirnya.
Dengan sedikit kasar Seonghwa menutup laptop yang digunakan Hongjoong. Hal tersebut membuat pemuda itu terkejut dan membelakkan matanya. Pemuda yang mengemaskan. Seonghwa tersenyum hangat melihat pemuda itu. Penatnya berfikir keras seakan tiba-tiba hilang.
"Hwa, aku hampir saja memenangkan game ini, dan kau benar-benar menghancurkannya," ujar Hongjoong dengan nada kesal.
"Huh? Bilang apa kau barusan?"
Senyuman Seonghwa seketika hilang kala mendengar jawaban Hongjoong yang seakan-akan menyalakan dirinya. Ia menatap intens, seperti sedang mengintimidasi perkataan pemuda itu barusan. Namun, yang ada di hadapan Seonghwa tetaplah si junior yang menggemaskan. Hongjoong kemudian menundukkan kepala, merasa bersalah mungkin.
"Maaf, aku tidak bermaksud seperti itu."
Seonghwa melemah mendapati Hongjoong dalam keadaan seperti ini. Ia tak bisa menahan diri untuk mengusak surai milik laki-laki yang lebih muda itu, dan mengecup kepalanya sekilas. Jelas saja perlakuan manis dari Seonghwa berhasil membuat semu di pipi pemuda itu tercipta.
"Ku maafkan, tapi tolong Joong, di saat-saat seperti ini, aku harap kau bisa lebih serius."
Iya, aku paham."
"Jadi, apa kau punya teman yang cukup bisa diandalkan dalam hal semacam ini?" Seonghwa mengulang pertanyaannya.
"Hal semacam ini? Maksudmu?"
"Semacam ahli teknologi, cerdas, handal, dan dapat dipercaya mungkin?"
Hongjoong berpikir sebentar. "Sepertinya ada, dia dari Namhe tapi pindah ke Jinju. Rumahnya tak jauh dari rumahku dulu. Tapi aku sudah lama tak berhubungan dengannya. Aku tidak tahu bagaimana dia sekarang," jelas Hongjoong.
"Siapa orang yang kau maksud?"
"Choi San, seorang detektif. Apa dia masuk ke dalam kategori orang ahli itu menurutmu, Hwa?"
Seonghwa berjalan kembali menuju meja kerjanya, mengambil posisi duduk menghadap layar monitor dan mulai memfokuskan pikirannya. Ia berusaha mencari informasi perihal orang bernama Choi San itu, yang dimaksud oleh Hongjoong. Ya, dan hanya ada satu orang dengan nama tersebut di Jinju.
"Joong, apa dia seorang detektif senior?"
"Aku tidak tahu, mungkin benar. Dia cukup cerdas dan licik. Mungkin kemampuan analisisnya bisa membantu dia menyelesaikan hal yang mengganggumu sekarang." Seonghwa mengangguk paham mendengar jawaban dari Hongjoong tersebut.
"Baiklah, kita akan coba pergi ke rumahnya besok. Dan sekarang tidurlah, berhenti bermain game!"
Kali ini Seonghwa benar-benar membentak Hongjoong. Dan pemuda itu mendengarkannya tanpa melayangkan protes sedikitpun. Sebuah kemajuan untuk langkah yang lebih bagus.
***
"Joong, cepatlah!" Seonghwa berseru pada Hongjoong yang sedang berada di kamar mandi. Ia bahkan sudah selesai bersiap-siap sekarang, dan pemuda itu belum menyelesaikan aktivitasnya. Ini hampir 30 menit ia berada di dalam sana.
Untuk mengulur waktu, Seonghwa memutuskan untuk membuat sarapan sederhana. Segera pemuda itu pergi menuju dapur untuk mempersiapkan sarapan bagi keduanya. Hanya dua gelas susu dan dua mangkuk oatmeal yang semalam ia beli di minimarket depan gang. Ia sedang memotong buah apel ketika tanpa peringatan Hongjoong memeluknya dari belakang.
"Yak! Kim Hongjoong!" Seonghwa terlonjak kaget. Hampir saja pisau yang ia gunakan untuk memotong apel mengenai jarinya. Untung saja Hongjoong sempat menahan tangannya.
"Joong, kuperingatkan! Jangan datang tiba-tiba. Aku hampir saja memotong tanganku sendiri," protes Seonghwa.
"Maaf," lirih pemuda itu.
Pemuda yang tengah direngkuh menghela nafasnya malas. Berusaha memberontak agar kedua lengan pemuda lainnya terlepas dari pinggangnya. Tapi Hongjoong tak beralih. Ia tetap di posisinya memeluk Seonghwa. Tangannya melingkari pinggang pemuda itu dengan manis. Mengunci dengan kedua tangan hingga tak bisa berkutik.
"Duduk saja di meja dan tunggu. Semuanya segera selesai."
"Aku menolak," ujar Hongjoong dengan suaranya yang berat.
Pemuda itu meraih pisau yang ada di tangan Seonghwa dan meletakannya jauh dari jangkauannya. Kemudian membalikan tubuh Seonghwa hingga berhadapan dengannya. Kedua tangannya masih bertengger manis di pinggang pemuda itu, enggan untuk melepasnya.
Seonghwa terkesima dengan Hongjoong di hadapannya. Setelan serba hitam yang melekat di tubuhnya membuat kharisma pemuda itu keluar. Kesan cute tergantikan dengan aura manly membuat Seonghwa terpana.
"Hwa, apa tidak lelah setiap hari hanya memikirkan ambisimu? Tidak bisakah bersantai sehari saja? Kau hanya memikirkan misimu. Tak sekalipun berniat melirik ke arah lain. Maksudku, setidaknya egoislah tentang diriku."
"Berhentilah bertingkah seperti anak kecil, Joong."
"Kau yang seharusnya berhenti. Hwa, kau memang lebih dewasa dariku, tapi aku bukan anak kecil yang sama seperti beberapa tahun yang lalu."
Seonghwa sedikit mengerutkan alisnya bingung. "Apa yang salah denganmu? Ini akan canggung, dan kau akan menyesalinya nanti."
"Bagimana kau bisa seyakin itu, Hwa? Kenapa kau selalu seperti itu?"
"Joong, berhentilah."
"Kubilang, aku tidak bisa."
"Joong, dengarkan aku, ini bukan saatnya main-main."
Hongjoong menatap sendu ke arah Seonghwa, "Kau bahkan tidak memanggil namaku dengan benar."
Wajah Hongjoong terlihat melemah. Tapi Seonghwa bingung, ia sedang merayu atau memelas. Ditinjau dari omongannya, dia sedang melakukan keduanya. Tapi ia tidak ambil pusing dengan hal itu dan memilih mengabaikannya.
"Aku tidak punya banyak waktu untuk memikirkan hal-hal itu, Joong. Di dunia ini tidak ada yang jauh lebih penting dibandingkan tujuanku. Dan kau harusnya juga begitu," jawab Seonghwa apa adanya.
"Belajarlah untuk memanggil namaku dengan benar, Hwa."
"Berhentilah bertingkah. Apa yang salah denganmu? Biasanya kau tidak pernah mempermasalahkan ini."
"Hwa," lirih pemuda itu.
Seonghwa menggigit bibirnya ragu. Ia paham betul kemana arah pembicaraan Hongjoong berlangsung. Pemuda itu meminta lebih dari yang seharusnya.
Sejak awal Seonghwa memang sama sekali tidak menginginkan sebuah hubungan yang serius. Baginya seperti keadaan biasa itu sudah cukup. Dirinya telah mematri janji. Tak bisa dengan mudah mengalihkan ambisi menuju perasaan yang menurutnya tak penting sama sekali.
"Sudahlah," ujar Seonghwa. Pemuda itu melepas tangan Hongjoong yang menguncinya. Beranjak menuju kamar dan mengambil ponselnya yang tergeletak di atas nakas. Sedangkan si pemuda lainnya, ia menenggelamkan wajahnya pada tangan yang dilipat di atas meja. Perasaan yang pasti ia rasakan adalah kekecewaan.
"Harusnya kau tahu. Mempertahankan perasaan itu sulit."
— TBC —
![](https://img.wattpad.com/cover/227845476-288-k307995.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Desty : The Hidden Things | Joonghwa
FanfictionPark Seonghwa, seorang Penyidik Tingkat 1 di Eclipse Enforcers Organization. Dendam yang terselubung selalu mengakar menemani setiap langkah riwayat hidupnya. Kehilangan orang terkasih membuat dia memilih mengotori tangannya demi membalas dendam. Ha...