Larasita Maira pernah hampir kehilangan nyawa karena memulai pernikahan pertamanya dengan cara yang salah. Kejadian itu cukup mengguncang batinnya, yang kemudian membuatnya sadar dan berusaha memperbaiki diri.
Waktu berlalu, dan Laras kembali dihada...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Deretan cup berisikan puding lembut berwarna putih dengan topping potongan buah-buah segar aneka warna yang memanjakan mata, memenuhi dua shelving rak dalam chiller miliknya. Lebih dari tiga puluh buah puding sutra buah itu Laras selesaikan sejak tiga puluh menit yang lalu, yang langsung ia lanjutkan dengan duduk melamun seperti saat ini.
Helaan napas lelah kembali lolos dari bibir tipis perempuan itu entah untuk ke berapa kali. Kedua tangannya bergerak cepat memeluk tubuhnya sendiri, berharap gelisah yang sejak tadi bersarang di hati itu lekas pergi.
"Iya. Kamu adalah mimpi burukku, Mahadirga."
Laras tercekat sendiri mengingat kalimat yang dengan lincah terlompat dari mulutnya itu. Sesal mengurung kalbunya saat ini, mengingat ada kebingungan yang tampak dalam manik coklat madu milik lelaki itu saat ia mengatakannya semalam. Tapi, meski telah sadar berucap, Laras tidak memilih untuk meminta maaf.
Karena sebenarnya mimpi itu sudah mengisi malam-malam panjang Laras, jauh sebelum Dirga datang. Memang, mimpi itu sempat pergi, sebelum menyapa Laras lagi setelah fakta tentang dirinya bukanlah satu-satunya istri Dirga terungkap. Cukup lama kewarasan Laras disiksa oleh mimpi menyakitkan itu, hingga perlahan bunga tidur itu berangsur pergi dengan sendirinya dari kehidupan Laras.
Namun, saat perpisahan dirinya dan Dirga sudah di depan mata, tidak ia sangka mimpi itu kembali hadir. Membuat Laras berpikir kalau bunga tidur yang sama sekali tak indah itu adalah pertanda kalau ia harus secepatnya menarik diri dari dalam kehidupan Dirga.
Suara halus deru mobil yang terdengar memasuki halaman rumah, memaksa Laras menghentikan aksinya memandangi puding-puding hasil buatannya itu. Perempuan yang rambutnya tergelung tak rapi itu, berdiri, menyibak gorden berwarna bata yang menutupi jendela besar di dapurnya. Ia bergegas menuju pintu, kemudian menjawab salam Dirga seraya memutar anak kunci.
Pintu terbuka. Tatapan mereka bertemu. Rasa bersalah secara otomatis kembali membumbung tinggi di dalam hati Laras. Otaknya memerintah mengucap maaf atas ucapannya kemarin malam, namun lidahnya seolah menolak untuk patuh. Selain itu, ada pertanyaan lain yang muncul di kepala sejak pertama kali melihat mobil berjenis SUV hitam milik Dirga terparkir di depan rumah.
"Kamu ... kenapa pulang?" Laras mengeluarkan pertanyaan itu tanpa berpikir lagi.
Lelaki berkemeja krem itu tertegun mendengar sebaris pertanyaan dari Laras. Responnya yang pertama kali muncul, mulutnya sedikit terbuka seraya mengerjapkan mata beberapa kali. "Kamu tanya kenapa aku pulang?"
Reaksi Dirga tadi rupanya berpindah pada Laras. Perempuan berkaus putih dilapisi apron berwarna senada dengan corak bunga berwarna biru itu sampai menutup bibirnya. Sadar, telah salah bertanya. Ini rumah Dirga, mengapa ia harus bertanya kenapa lelaki itu pulang?
Laras memaki diri dalam hati, mengapa bibirnya harus berulang mengeluarkan kata-kata yang kacau sejak kemarin. Ia menipiskan bibir seraya meraih tas ransel yang biasa Dirga gunakan untuk bekerja, untuk ia bawakan ke dalam rumah.