Jagatraya sudah siap dengan buket buah yang ia rangkai sendiri di tangannya. Saat ini Jagatraya sudah berada di rumah sakit dimana Rana dirawat. Ia tak menyangka kenapa bisa seniat ini untuk datang menjenguk seseorang yang telah ia tolong. Mungkin ini panggilan kemanusiaan.
“Sudah pulang, ya, Sus?”
Hanya itu kalimat yang bisa Jagatraya lontarkan setelah menerima kabar bahwa Rana sudah kembali pulang. Ia terlambat untuk menjenguk perempuan itu. Padahal effort yang ia berikan tidaklah main-main. Ia harus merelakan jatah buahnya di kulkas karena tidak punya uang untuk beli buket buah.
Langkahnya menelusuri tepi jalan yang padat akan pedagang kaki lima. Sebenarnya ia haus, tapi tidak punya cukup uang untuk sekedar beli es teh. Alhasil ia memilih pulang berjalan kaki—menghemat. Ingat, Jagatraya sekarang adalah pengangguran.
Untungnya jarak dari rumah ke rumah sakit Rana dirawat tak jauh, hanya membutuhkan waktu sekitar 40 menit untuk berjalan kaki. Tidak masalah, Jagatraya adalah laki-laki kuat.
Di depannya tertuliskan palang besar dengan nama “Florist Kamila.” Floristnya tidak terlalu besar, namun sepertinya cukup berkembang jika dibandingkan dengan florist-florist lainnya dan yang menjadi pusat perhatian Jagatraya adalah dibutuhkan pegawai non pengalaman yang bersedia bekerja 12 jam perhari.
Ini seperti angin segar bagi Jagatraya mengingat hingga sekarang ia masih belum mendapatkan pekerjaan yang pasti. Tak masalah, menjadi pegawai florist tidaklah buruk. Mungkin jika diterima nanti, Jagatraya bisa sembari mengirim CV dirinya ke beberapa perusahaan lain—istilahnya florist ini hanya untuk sampingan saja daripada harus menjadi pengangguran dalam jangka waktu yang lama.
Tapi hari ini Jagatraya tidak membawa surat lamaran. Di tangannya hanya ada buket buah. Tidak mungkin juga 'kan ia melamar sembari menyerahkan buket buah alih-alih data diri dan pengalamannya.
Tak ada salahnya mencoba!
Meninggalkan bagaimana Jagatraya yang mendapatkan angin segar. Kini di dalam kamarnya, Rana sudah bersiap dengan pakaian dan beberapa barang bawaan yang telah perempuan itu siapkan di dalam tas. Sebenarnya Tita berpesan pada Rana sebelum berangkat ke florist tadi agar beristirahat saja. Namun itu justru membuat Rana semakin memikirkan kesedihan yang masih bersemayam pada hatinya.
Rana tak mau semakin terpuruk, jadi sebisa mungkin ia harus menyibukkan diri meskipun sebenarnya ini sangat berat. Jadi Rana mengabaikan pesan dari Tita dan memilih untuk tetap berangkat ke florist sekalian melihat perkembangan usahanya setelah beberapa hari tidak ia kunjungi itu.