PART 1

1K 23 0
                                    

Pernikahan yang diadakan sangat sederhana, dengan latar ruang ICU membuat orang-orang yang menyaksikan sangat begitu terharu. Kini sepasang remaja yang masih duduk di kelas XII itu sudah resmi menjadi suami istri. Anak perempuan itu menghampiri ranjang rumah sakit yang kini tengah menatapnya sayu dengan wajah pucat.

"Terima kasih, Nak." ucap sang ayah.

Sang anak tentu saja menggelengkan kepalanya, untuk apa sang ayah berterima kasih ini sudah kewajibannya menjadi seorang anak untuk memenuhi permintaan orang tuanya. Awalnya memang dia tidak ingin, tapi ini adalah permintaan terakhir sang ayah.

"Ayah cepat sembuh, ya?" Setelah mengatakan seperti itu, sambil mengunakan gaun putih pengantinnya tangan lentiknya mengusap rambut sang ayah lembut."Khansa sayang Ayah." ucap Khansa lirih. Semua orang yang ada di sana menatap sendu ke arah Khansa, terkucali sosok remaja laki-laki yang menatapnya datar.

Suara mesin EKG nampak membuat semua pasang mata teralihkan, terlihat garis lurus yang sudah tertera di sana. Khansa menggelengkan kepalanya."AYAH!" teriak Khansa.

"Mas, Mas bangun!"

Tolong bangunkan Khansa jika ini adalah mimpi, Khansa sangat tidak ingin ini semua terjadi."Ayah, tolong. Jangan tinggali Khansa sendirian Ayah, Khansa takut." Suara lirih itu tak membuat sosok paruh baya itu membuka matanya, satu pria dewasa yang sibuk keluar mencari dokter semoga dokter itu masih bisa menyelamatkan nyawa sahabatnya.

Dokter dan suster berhamburan masuk ke dalam ruangan VVIP itu, Khansa dipaksa ditarik mundur oleh beberapa suster. Khansa menangis, gadis itu sama sekali tidak kuat. Siapa pun tolong bangunkan Khansa dari mimpi buruk ini.

"Maaf, Tuan Abhiyasa sudah meninggal dunia. Kami berusaha semaksimal mungkin, tapi Tuhan berkehendak lain." ucap dokter laki-laki tersebut dengan lirih.

"Enggak, Ayah! Ayah, bangun! Lihat Khansa, Ayah. Ayah tolong, Ayah!" Khansa meraung, gadis itu menangis dia sama sekali tidak kuat. Sang ibu, Nara, yang berada di sampingnya pun sama halnya, ibunya pun tak kuat menghadapi apa yang terjadi sekarang.

"Nara sudah, ini yang terbaik." Wanita paruh baya lainnya yang ada di sana ikut menenangkan ibu satu orang anak itu.

"Ayah, jangan Ayah." ucapnya lirih, cinta pertamanya pergi. Khansa tidak tahu, apa yang harus Khansa lakukan? Khansa merasa hilang arah. Khansa takut, Khansa benar-benar bingung.

Sosok remaja laki-laki yang ada di sana hanya menatap kejadian itu datar tanpa ingin ikut andil dalam hal apa pun yang terjadi. Remaja laki-laki itu cukup muak dengan pernikahan yang ia jalani beberapa waktu lalu, ini bukan keinginannya. Dia tidak mau menikahi gadis yang berada tak jauh dihadapannya.

"Sialan." ucapnya sambil mengepalkan tangannya erat.

•••

Proses pemakaman Abhiyasa Laskar Mahatama, kini sudah selesai. Dengan Khansa yang masih saja tidak ingin bangkit dari dekat gundukan tanah itu. Khansa masih ingin di sini bersama ayahnya. Rasa sakit yang menjalar dihatinya begitu sangat menyesakan. Berulang kali Khansa berharap jika ini adalah mimpi, namun nyatanya dia tidak pernah bangun dari mimpi itu. Ini nyata dan dia harus menerima fakta. Kenapa rasanya sangat sakit sekali? Cinta pertamanya pergi dan tidak akan mungkin kembali lagi.

"Ayah, tungguin Khansa. Ya?"

"Nak sudah, kita ikhlas ya?" Sang ibu, Nara. Mengusap bahu sang putri dengan lembut. Nara harus kuat demi putrinya, jika dia tidak kuat. Maka siapa yang harus putrinya jadikan sandaran?

"Ayah udah tenang, Nak." ucap Nara kembali.

Khansa memeluk sang ibu, kedua sahabat Khansa pun turut hadir di acara pemakaman itu.

"Lo kuat, Sa." ucap Belva.

"Kita ada buat lo, Sa. Jangan pernah merasa sendirian." ucap Aruna.

Khansa tersenyum menatap kedua sahabatnya, Khansa merasa bersalah apalagi terhadap Aruna. Apa yang harus dia katakan kepada sahabatnya? Apa sahabatnya akan mengerti posisinya? Khansa memeluk kedua sahabatnya, Khansa tidak mau persahabatannya hancur begitu saja.

"Udah ya, jangan nangis. Semuanya bakal baik-baik aja. Sa." ucap Aruna.

Khansa meneteskan air matanya, Khansa sangat tidak kuat.

"Kita pulang, ya?" ucap Belva.

Lantas semua orang meninggalkan area pemakaman. Rasanya gadis itu tidak rela harus pergi meninggalkan area pemakaman itu.

"Sayang, aku anterin kamu pulang ya?" Suara itu berhasil mengalihkan semua pandang mata menatap ke arah sosok remaja laki-laki tampan yang kini tengah menatap perempuan yang sangat begitu ia cintai setelah ibunya. Ah, ya, terkecuali Khansa. Khansa sibuk menatap foto sang ayah, tapi Khansa juga tidak tuli. Dia tahu dan mendengar apa yang dikatakan suaminya.

"Aku bareng Belva, aja. Ya? Gak papa gak usah anterin aku." balas Aruna. Kaiser hanya menganggukkan kepalanya sebagai jawaban. Walaupun rasanya dia ingin cepat-cepat pergi. Sangat.

Tamara, ibu Kaiser menatap anaknya dengan gelengan kepala. Rupanya putra satu-satunya itu tidak mendengarkan apa yang dia katakan. Kamadev, sang ayah pun menatap datar kejadian yang ada di depan matanya.

Waktu berlalu dengan begitu cepat, matahari tenggelam dan malam mulai datang. Semua orang sudah pergi, hanya ada Khansa, ibunya, dan suaminya di sini. Ah, tidak, dan beberapa pekerja rumah lainnya.

Khansa diam di atas kasur, Khansa enggan untuk berganti pakaian. Khansa tidak mau, Khansa terus melamun. Banyak pikiran yang bersarang di kepalanya. Rasanya kepala Khansa ingin pecah.

Sebuah amplop putih seseorang lemparkan tepat di depannya, Khansa menoleh menatap Kaiser yang kini menatapnya datar.

"Tanda tangan." ucapnya.

Khansa mengerutkan keningnya, laki-laki itu berdecak kesal. Apa gadis dihadapannya ini pura-pura bego? Di mana otak pintar yang selalu ia gunakan itu?

"Pernikahan kita hanya dalam setahun."

"Tapi---"

"Gak usah tapi-tapian sialan, gue udah cukup menderita dengan terpaksa harus menikah dengan cewek yang gak pernah gue cintai. Tanda tangan surat itu, dan gue gak mau tahu." Kaiser menarik napasnya sejenak, Kaiser sangat muak dengan Khansa, sangat. Dia benci Khansa."Lo gak bego 'kan buat lo tahu, kalau gue pacar dari sahabat lo?" tanya Kaiser.

Khansa diam, kenapa Khansa harus menolak? Tidak apa-apa 'kan? Khansa harus menerimanya dengan lapang dada. Khansa membuka amplop itu, lalu dia membawa pena setelah itu ia tanda tangan di atas materai yang sudah ada. Di sana tertulis bahwa pernikahan di antara keduanya hanya dalam jangka waktu yang ditentukan.

"Satu lagi, jangan sampai siapa pun tahu apalagi Aruna sampai tahu. Kalau dia tahu, lo habis sama gue sialan."

"Kamu tenang aja, aman kok." ucap Khansa dengan senyuman yang terpatri di wajahnya.

Kaiser berdecih sinis, dia memilih untuk pergi sejenak keluar. Ah, sial! Ini hari yang buruk bagi Kaiser.

"Kamu mau ke mana?" Bahkan pertanyaan dari Khansa pun tidak Kaiser dengarkan.

Khansa terdiam, memangnya dirinya siapa?

see u!

Instagram:_dinniy

K A I S E R || Nightmare Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang