❝Apapun yang terjadi pada kita. Kita akan tetap bersama, seperti biasanya.❞
웃음꽃 (Smile Flower)
by SEVENTEEN
ꕤꕤꕤKepulan asap hangat mengudara dari setiap bilah bibir manusia yang sedang menapaki trotoar. Adapun Yibo menautkan telapak Zhan dengan penuh cinta. Mereka baru saja keluar dari mobil yang terparkir di bahu jalan. Zhan pulang lebih lama dari biasanya, pekerjaan menjeratkan di balik meja hitam besar selama satu hari penuh. Ada banyak berkas kerja sama yang belum dia lihat selama beberapa waktu.
Selagi dia disibukkan oleh beberapa tumpukan kertas, Yibo menatap layar MacBook di seberang. Terpasang earphone di telinganya, tidak lupa kacamata hitam yang menggantung pada hidung. Zhan beberapa kali melirik sang suami, sekadar untuk memperhatikan Yibo ketika dia bekerja. Betapa paripurnanya pria Wang itu, dengan rambut hitam legam serta kemeja senada, Yibo memberikan arahan melalui video meeting dengan santai. Keadaan itu sangat berbeda dengannya.
Zhan melepas kacamatanya, memijat pelipis yang sedikit nyeri. Dia sudah cukup lama berdiam diri, menyadari gelas keduanya telah kosong tanpa air. Beranjak membebaskan diri, Zhan sudah mengayunkan pintu untuk terbuka.
“Kemana, Sayang?”
Ada suara dehaman dari speaker MacBook yang Zhan dengar dengan lirih, kontan membuat alisnya terangkat. Yibo jelas-jelas tidak mematikan pengaturan suara di laptopnya, namun tanpa tahu malu bertanya demikian.
“Meeting hari ini sepertinya sudah cukup. Kita bahas kembali besok.”
Earphone segera Yibo lepas, dia meninggalkan layar yang masih menyala. Tidak lama setelahnya, ada suara lain yang menginterupsi untuk mengakhiri meeting. Yibo memangkas jarak, menghampiri Zhan diujung pintu dengan senyum seteduh pohon mahoni besar.
“Sudah selesai?” Tanya Zhan basa-basi. Dia menarik lengan, melepaskan gagang pintu dan membuatnya tertutup. “Aku hanya akan mengambil minum, kenapa tidak dilanjutkan saja?”
Kepala Yibo menggeleng ketika mereka sudah cukup dekat. Pria dewasa itu melingkarkan tangan di pinggang Zhan, memeluknya dengan helaan napas. “Lelah. Ingin istirahat.” Kata Yibo.
Kendati demikian, Zhan tahu bahwa Yibo hanya bersandiwara. Yibo tidak akan dengan mudah meninggalkan pekerjaan, bahkan perbedaan waktu yang jauh antara Amerika dan China tidak membuatnya terlelap ketika malam hari.
Zhan pernah mendapati Yibo masih berbicara dengan MacBooknya suatu waktu. Ketika suaminya menyadari bahwa dia masih terjaga, Yibo mengakhiri meeting dan menyusul untuk bergelung di bawah selimut dengan dekapan. Yibo akan memberikan kecupan juga elusan pada kening, lalu kembali terjaga hingga pekerjaannya selesai. Dengan demikian, Zhan tahu bahwa Yibo mengeluh adalah karenanya yang tidak istirahat.
Tidak mencoba mendebat, Zhan membalas pelukan suaminya. Dia menempelkan kepala pada dada Yibo, mendengarkan detak jantung sang suami yang seirama dengan jantungnya. Zhan tersenyum, sekali lagi menyadari bahwa mereka memang ditakdirkan untuk berjodoh.
Menyadari langit sudah gelap dari beberapa waktu, Zhan lantas menguraikan pelukan. “Ingin pulang?” Tanyanya.
“Gege sudah selesai?”
Zhan melirik meja kerjanya yang berantakan. Berdiam cukup lama, dia lantas mengangguk. “Sudah.” Bohongnya. Namun, Zhan tidak berberat hati. Yibo melakukan ini juga demi dirinya. Sehingga Zhan menghargai itu. “Ayo pulang jika begitu. Sekalian kita berbelanja untuk stock bulan ini.”
Dan malam sudah semakin menggelap ketika mereka berjalan menyusuri tepian jalan. Menghabiskan hampir satu jam untuk membeli kebutuhan rumah, Zhan meminta pada Yibo untuk tidak langsung pulang. Besok hari libur, membuat banyak lalu lalang insan di bawah gedung pencakar langit kota New York, dan dia juga ingin menikmati udara malam sekalipun harus mengeratkan mantel.
“Satu tahun lagi,” Napas hangat dari mulut Zhan mengudara ketika dia berbicara. Kaki mereka masih saling melangkah kecil, menapaki bebatuan yang disusun rapi sebelum akhirnya berhenti. Ada pembatas di sisi kiri mereka, menjadi pemisah antara sungai Hudson dan daratan. Zhan memandang dengan jauh ketika kembali membuka bibir, “Dan kita akan menjadi warga tetap di sini.”
Yibo tidak melepaskan genggaman tangan saat membawanya tersampir pada pembatas. Dia menatap lekat wajah Zhan dari samping. Tanpa berkedip, Yibo tersenyum, mengagumi keelokkan paras Zhan kendati keriput di sudut matanya semakin terlihat. Di tengah lalu lalang manusia, Yibo mengecup telapak Zhan dengan hangat.
“Kamu ingin kembali, Ge?”
Gelengan Zhan berikan saat dia membalas tatapan Yibo. Bibirnya juga tersenyum, menyadari sorot mata Yibo yang tidak pernah berubah setiap kali memandangnya. Sorot itu teduh dan menenangkan, dihiasi oleh kerlipan yang terasa begitu hidup. Tanpa satu ucap kata, Zhan tahu bahwa Yibo begitu mencintainya.
Dia kemudian beralih pada tautan telapak, masih tersenyum ketika jarinya mengelus cincin yang melingkari jari manis Yibo. “Awalnya aku takut,” Ungkap Zhan, menciptakan genggaman Yibo semakin mengerat. “Takut bahwa hubungan ini akan menyakiti kita. Takut akan pandangan orang lain akan kita. Tapi, semenjak kita menetap di sini, aku merasa bebas, Bub. Tidak ada sorot mata tidak suka, tidak ada mata yang akan mengawasi. Kita bebas melakukan apa saja. Bahkan jika kita berciuman di sini, orang tidak akan menghukum.”
Alis tebal Yibo terangkat separuh, “Kamu mau?”
“Apa?”
“Ciuman.” Kata Yibo tanpa terlihat goyah. Dia selalu tegas akan segala katanya, tidak terlihat main-main sama sekali. Bahkan ekspresinya pun selaras.
“Jangan gila!”
Tapi, kemudian Yibo tertawa. “Hanya menggodamu.” Ujarnya main-main. “Aku juga tidak ingin orang lain tahu seberapa hebatnya aku dan seberapa frustasinya kamu di tanganku, Sayang.”
Zhan kontan memukul pundak suaminya. Ada semburat merah di telinga dan wajahnya, cukup untuk menghalau udara dingin yang semakin menusuk. Dengan cepat Zhan juga menetralkan ekspresi, menatap Yibo melalui sorotnya yang dalam. “Terima kasih sudah bertahan untukku selama ini, Yibo.”
“Ge,” Yibo membenarkan posisinya, berdiri dengan tegak selagi meraih telapak lain milik Zhan. “Sudah aku katakan. Diantara kita tidak ada kata maaf dan terima kasih. Sudah pilihanku untuk mencintaimu, maka bagaimanapun keadaanya, aku akan bertahan untukmu.”
“Aku takut mengecewakanmu.”
“Gege ada pemikiran apa?”
Suara Yibo masih teduh dan menenangkan, dan akan selalu begitu selamanya. Zhan baru menyadari bahwa ketika keduanya menikah, Yibo tidak pernah sama sekali menaikkan intonasi. Bahkan di tengah pertengakaran kecil, yang mana Zhan sudah tersulut emosi, Yibo akan menariknya ke dalam dekapan. Berkata, “Inhale exhale, Ge. Setelah Gege tenang, kita bicara, ya.” Dan Zhan mau tidak mau untuk menangis bersalah dalam dekapan itu.
“Kita sudah berjalan empat tahun, dan tidak sedikit pun kamu pernah membuatku bertanya apakah kamu mencintaiku. Setiap ada pemikiran itu, jawaban yang aku dapat selalu fakta bahwa kamu memang mencintaiku, Yibo. Membuatku takut apakah kamu memang demikian atau hanya menahan sesuatu yang tengah kamu simpan?”
Zhan dapat melihat bibir Yibo bergetar meskipun sedikit. Suaminya tetap mempertahankan senyum meskipun ada helaan napas panjang. Dan Zhan mendadak merasa takut.
“Kita pulang, ya?” Ajak Yibo, yang kemudian tidak Zhan jawab. “Jika Gege ingin membicarakan itu, ayo di rumah. Lebih leluasa.” Masih dengan senyum yang terpatri, Yibo menuntun Zhan untuk kembali berjalan ke arah mobil. “Jika selama perjalanan aku diam, tolong untuk tidak bertanya, ya, Ge. Sebab aku cukup terkejut dengan pernyataanmu.”
[]ꕤꕤꕤ
Hi~~ Long time no see! Heheee. Aku kembali dan melanjutkan Smile Flower, semoga masih ada yang menunggu, yaaa. Cerita kali ini mungkin pendek, jadi konfliknya bakal cepat. Dinikmati ajaa yaa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Smile Flower ꕤ YiZhan [Unforgettable S2]
Fanfiction[Sequel Unforgattable ꕤ On Going] Takdir mempertemukan bahkan menyatukan keduanya dalam ikatan pernihakan. Setelah lika-liku kehidupan percintaan yang cukup rumit, Wang Yibo dan Xiao Zhan resmi menikah. Benang merah mereka masih terhubung, bahkan di...