❝Apapun yang terjadi pada kita. Kita akan tetap bersama, seperti biasanya.❞
웃음꽃 (Smile Flower)
by SEVENTEENTW : nosebleed (mimisan), blood
ꕤꕤꕤZhan tidak berani bersuara. Dia mengunci bibirnya rapat-rapat sepanjang perjalanan pulang. Suasana mobil yang biasanya hangat, mendadak tertular dingin dari udara di luar. Yibo masih terlihat tenang, tidak terlihat dikuasai emosi jika Zhan tidak menyadari bahwa telapaknya menggenggam kemudi dengan erat.
Suaminya tidak pernah kesetanan dalam hal apapun. Selalu tenang layaknya danau, dan Zhan justru semakin takut akan hal itu. Bahkan ketika mereka tiba di kediaman, Yibo dengan sigap membukakan pintu mobil untuk Zhan, menyuruhnya untuk tidak membawa barang yang berat dari dalam bagasi.
Mereka tidak saling membuka kata sama sekali. Diliputi sepi yang luar biasa mencekam, ada rasa canggung yang kentara saat Zhan berdeham. Barang-barang belanjaan sudah tertata rapi, dan selama itu mereka juga diam tanpa kata.
“Ingin bicara sekarang?”
Zhan tidak terkejut dengan ajakan itu, tapi entah kenapa dia merasa tidak bisa merespon. Baru mengangguk ketika Yibo memanggilnya dengan lembut, sebelum menyusul sang suami yang lebih dulu mendaratkan diri di atas sofa ruang tengah.
“Aku beri Gege kesempatan lebih dulu untuk berbicara.” Yibo masih tersenyum seperti beberapa waktu lalu. Wajahnya tidak sama sekali menunjukkan suatu emosi. “Katakan apapun yang Gege pikirkan tentangku selama ini.”
Sementara kepala Zhan menggeleng, mendadak merasa ciut. Tenggorokannya terasa kering, bahkan pita suaranya seperti hilang entah kemana.
“Aku tidak pandai dalam berucap, Ge, juga tidak pandai dalam berperilaku. Tapi, aku mencoba belajar. Hanya tidak menyangka bahwa selama ini kamu masih mempertanyakan rasa cintaku.”
“Bukan begitu.” Zhan membuka mulut dengan cepat, berusaha membela diri sebelum menyesali kalimat itu pada akhirnya.
“It’s your time. Aku tidak akan menyela.”
Yibo akan selalu begini, dan Zhan akan selalu merasa bersalah. Segala definisi cinta yang Zhan pernah baca, Yibo memilikinya. Namun, entah kenapa, dengan gilanya Zhan mencoba menciptakan sebuah masalah baru.
“Kamu tidak pernah marah, tidak pernah membentakku, tidak pernah melawanku. Hanya menurut, patuh, bersikap lembut, dan segala hal yang baik. Aku sama sekali tidak meragukan cintamu, Bo. Hanya merasa takut. Itu saja.”
“Gege ingin aku marah? Ingin aku membentak?”
Meskipun Zhan melontarkan pertanyaan demikian, kepalanya kini menggeleng. “Tidak ingin.”
“Lalu kenapa bertanya?”
“Katanya,” Zhan menjeda, menelan ludahnya dengan sulit sebelum melanjutkan. “Marah itu tanda cinta dan sayang. Perlawanan itu juga begitu. Misalkan ketika aku melakukan kesalahan dan kamu marah, aku berarti bagimu karena kamu marah.”
“Memangnya selama ini jika Gege salah aku tidak pernah menegur atau mengingatkan?”
“Pernah…”
“Ge,” Yibo menarik telapak Zhan, menggenggam dan mengelusnya sebelum memberikan kecupan lama. “Aku sudah pernah berjanji pada Tuhan untuk tidak menyakitimu, sehingga sebisa mungkin aku tidak melakukannya. Cinta itu tidak selalu diartikan dengan kemarahan, larangan, atau apapun itu. Definisi cinta setiap orang tidak selalu sama, Ge. Kamu boleh marah padaku, melarangku, membentakku. Aku paham bahwa itu bahasa cintamu. Jadi, tolong, pahami bahwa tidak pernah marah itu juga bahasa cintaku untukmu.”
“Tapi, aku menyakitimu.”
Yibo menggeleng, lalu meriah pipi Zhan. “Tidak. Kamu tidak pernah dan tidak akan menyakitiku. Jikapun suatu saat memang demikian, aku percaya kamu tidak sengaja. Gege itu baik hati, lemah lembut, cantik, like an Angel. Panggilan pretty angel dariku, bukan sekadar panggilan. Tapi, karena Gege itu memang seperti malaikat.”
Manik Zhan berkaca, ada genangan air pada tepian kelopaknya. Dia mencoba mencari kekuatan untuk tidak tersedu ketika meremat telapak Yibo tidak kalah kuat. “Tidak bisakah kamu marah padaku meskipun hanya sekali?”
Kepala Yibo lagi-lagi menggeleng. “Aku tidak akan mengikari janjiku pada Tuhan, padamu, pada diriku sendiri, juga pada orang tua kita, Ge.”
Zhan tidak kuasa untuk menahan isak. Air matanya terurai menuruni pipi saat mendekap Yibo dengan erat. Betapa bersyukurnya dia mendapatkan anugerah atas semua ini, mendapatkan seluruh cinta Yibo dalam hidupnya.
“Hidup ini sejatinya serupa dengan hutang, Ge. Ketika kamu berhutang, kamu harus membayarnya.” Yibo mengelusi kepala Zhan dalam dekapan. Mencoba menenangkan Zhan yang terisak hingga pundaknya bergetar. “Aku berhutang janji, jadi sebisa mungkin aku harus membayarnya. Jadi, aku minta tolong padamu untuk membayar janjimu. Tolong tetap cintai aku, tolong tetap bertahan, dan tolong tepati segala janjimu untuk hidup denganku.”
Tidak ada lagi yang Zhan pedulikan selain suara Yibo. Dia abai dengan isaknya yang cempreng, ingusnya yang menempel pada kaos Yibo, atau dekapan eratnya pada sang suami. Zhan hanya tahu mengangguk dengan yakin, mengulang kata janji beberapa kali. “Janji. Aku berjanji padamu, Yibo.”
Entah berapa lama dia menangis, Zhan tidak tahu. Tahu-tahu matanya sudah bengkak sepreti tersengat lebah, suaranya juga menjadi serak, energinya seperti terkuras habis dan meninggalkan kantuk yang mulai terbit.
Yibo tersenyum menatapnya. Dengan telaten membersihkan sisa air mata pada pipi Zhan, juga menyisiri helaian kusut rambut Zhan pada dahi. “Ingin minum?” Tawar Yibo setelah beberapa waktu. Mendapat anggukan darinya, pria itu langsung beranjak ke dapur.
Zhan masih berdiam diri di atas sofa, mengusap sisa-sisa air mata yang tertinggal pada bulu mata. Dia merasa lesu, ingin segera terlelap. Tapi, Yibo tidak kunjung kembali, sehingga membuat Zhan angkat kaki untuk menyusul. Betapa terkejutnya Zhan ketika mendapati Yibo tertunduk di wastafel dengan darah yang menetes dari hidung suaminya.
“Bubub!” Suara Zhan melengking di tengah malam. Dia segera menghampiri Yibo dengan rasa panik. “Kenapa mimisan? Kamu sakit? Sejak kapan?” Tanya Zhan kalang kabut. Tidak tahu harus melakukan apa selain menatap Yibo dengan rasa khawatir.
“Sepertinya kekelahan, Ge.” Yibo masih menunduk, membiarkan darah segar meninggalkan hidungnya. “Aku tidak papa, serius.”
“Ke dokter, ya?” Bujuk Zhan. Ketakutannya kembali hidup, tidak tega melihat Yibo sebab dia tidak tahu harus bagaimana. Namun, Yibo tetap meyakinkan dirinya bahwa ini tidak serius. Mengajak Zhan menunggu selama beberapa waktu hingga darahnya berhenti keluar.
“Tuh, lihat.” Yibo menyeka hidungnya saat tidak lagi ada tetesan darah. “Berhenti sendiri, ‘kan? Aku tidak papa, Sayang, serius.”
Dengan alis berkerut dan rasa khawatir, Zhan melempar tanya. “Kamu yakin?”
Yibo mengangguk dengan tegas. Atas hal itu, Zhan mencoba untuk ikut meyakinkan diri.
“Aku mengantuk.” Zhan kembali berucap ketika mereka sudah ada di ruang tengah. Dia membohongi dirinya, sebab kantuk itu sudah pergi sejak mendapati Yibo mimisan di dapur. Namun, hanya ini yang Zhan miliki untuk mengajak sang suami, “Ayo tidur.”
Tidak ada penolakan dari Yibo. Mereka lantas mendaratkan diri ketika tiba di kamar. Saling menyelimuti diri sebelum mendekap satu sama lain. Di mana waktu terus berjalan, Yibo sudah terlelap dengan dengkuran halus, meninggalkan Zhan yang masih terjaga sebab rasa khawatir yang belum juga pergi.
Zhan kembali merasa bersalah untuk yang kesekian kali. Merasa bahwa kesehatan Yibo memburuk karenanya.
[]ꕤꕤꕤ
HEHE, pokoknya ayo smile!!
Masih Yibo yang sama dengan Unforgettable, lembut, manis:(( my first chara yang aku cintai. Semoga kita semua dapat sosok kaya YIBO di sini
See u soon!
KAMU SEDANG MEMBACA
Smile Flower ꕤ YiZhan [Unforgettable S2]
Fanfiction[Sequel Unforgattable ꕤ On Going] Takdir mempertemukan bahkan menyatukan keduanya dalam ikatan pernihakan. Setelah lika-liku kehidupan percintaan yang cukup rumit, Wang Yibo dan Xiao Zhan resmi menikah. Benang merah mereka masih terhubung, bahkan di...