Tujuh; Aku Masih Penasaran

39 6 7
                                    

Akhirnya perasaan gundah gulana yang nyaris seharian, hilang seketika saat Juan sudah mengantarkanku pulang bersama dengan selamat. Juan masih sama, dia menjelaskan walaupun aku tak membahas sikapnya yang berbeda. Juan bilang, dia akan bersikap tak acuh pada orang lain jika sedang kelelahan.

Aku mengerti, jadi seorang Juan itu sangat melelahkan. Namun itu juga pilihan Juan, yang ingin mengikuti semua kegiatan yang dia minati. Tapi aku senang, Juan bisa jujur padaku tentangnya tanpa diminta. Aku juga senang ternyata diriku tidak ada salah padanya.

Kini seperti biasa, di rumah hanya sepi yang melanda, orang tuaku selalu sibuk dengan urusannya. Sore ini, aku memberanikan diri untuk keluar rumah sendiri, jalan-jalan di komplek sebentar untuk mencari angin yang segar.

Beberapa menit kemudian, mataku terpaku saat melihat gadis berambut panjang yang seperti kukenali. Aku berlari kecil, mencoba menghampiri. Setelah sampai ternyata dugaanku benar, itu Raisya, sedang berlari bersama Zaki.

"Rai!" panggilku.

Raisya dan Zaki langsung memberhentikan langkahnya seraya menoleh, lalu tersenyum padaku dan menghampiriku. Aku masih tersenyum menyapa, merasa ikut bahagia rasanya melihat Raisya.

"Lin, sendirian aja?" tanya Raisya setelah sampai.

Aku mengangguk, masih dengan senyumku aku berkata, "Kalian rajin banget sore-sore lari bareng gini? Nggak ngajak aku lagi, padahal larinya sampai komplek rumahku!"

"Juan emang gak ngajakin, ya, Lin?" balas Raisya sambil tertawa.

Aku langsung membulatkan mata menatap Raisya. Maksud dia apa? Di sini ada Zaki, Rai! Ya ampun ... tapi, Zaki seolah sudah mengetahui aku dekat dengan Juan, sih. Walau begitu, aku tetap malu digoda oleh Raisya seperti ini.

"Kasihan ... Juan-nya lagi kurang enak badan, ya?"

Ucapan Zaki padaku membuat mataku menyipit, sedikit terkejut dengan pertanyaan dia yang malah jadi pernyataan untukku. Raisya menatapku seperti butuh penjelasan, namun aku masih merasa bingung, Juan hanya bilang kelelahan saja padaku.

"Iya, Ki? Juan enggak bilang dia lagi kurang enak badan. Dia bilang lagi kecapekan aja," jawabku.

Zaki menggaruk tengkuknya, cowok itu akhirnya mengajak menepi terlebih dahulu, duduk bersama di kursi taman komplek ini. Raisya menggandeng tanganku, mengajakku yang masih sedikit terpaku dengan pernyataan itu.

"Tadi lo berantem bukan, sih?" tanya Raisya pada Zaki kemudian.

Zaki menoleh, wajahnya terlihat kebingungan. "Gue nggak berantem, tadi cuma salah paham aja. Juan emang lagi kecapekan kayaknya, jadi emosi sama gue yang salah paham sama dia."

"Oh ... maklum sih, Juan tuh enggak ada capeknya. Sekali kecapekan sikapnya langsung sensitif jadinya," tambah Raisya sambil menatapku.

Aku hanya menyimak obrolan mereka yang secara tidak langsung menambah pengetahuan bagiku tentang seorang Juan. Meski hatiku kembali gundah memikirkannya, tapi otakku masih mampu mencerna obrolan mereka.

Akhirnya, kami memutuskan untuk olahraga bersama sore ini. Aku jadi merasa tak enak mengganggu waktu Raisya dengan Zaki bersama. Raisya malah berlari di dekatku, membiarkan Zaki lari sendiri di depan sana.

"Lin, lo lagi berantem, kah? Sama Juan?" tanya Raisya di sela-sela kita berlari bersama.

Aku menggelengkan kepala. "Emangnya kenapa?"

"Gak papa. Kayaknya efek Juan lagi gak fit, jadinya dia kayak yang jaga jarak sama lo."

"Kelihatan, ya?"

Raisya tertawa kecil menatapku. "Iya, Lin! Kelihatan tau! Tadi gue ngajakin lo ke klub, biar mastiin kalian baik-baik aja sebenernya. Kayak kata-kata yang semalem gue bilang ... gue, enggak mau temen baru gue yang cantik ini, sakit hati."

Hatiku langsung menghangat mendengar Raisya mengatakan itu, aku langsung tersenyum memandangnya. "Kamu baik banget, Rai. Mikirin perasaanku. Makasih ya, udah peduli samaku."

Raisya memelankan kecepatan berlarinya, gadis itu tersenyum padaku yang juga mengimbanginya berlari. "Harus, Lin! Pegang omongan gue, ya? Jangan terlalu jatuh, bukan karena gue larang lo sama Juan, tapi, demi kebaikan lo."

Aku mengangguk, membiarkan Raisya kembali melanjutkan ucapannya.

"Kalian baru kenal, Lin. Lo juga baru tau, kan, sikap Juan yang tadi?" tanyanya.

Aku mengangguk lagi, senyumku masih tercipta di sana.

"Nah ... kita sama diri sendiri aja, kadang ada sesuatu yang belum dikenali. Apalagi sama orang lain? Jangan buru-buru jatuh, ya, Lin. Santai aja. Jagain masa muda lo, jangan biarin diri lo sakit hati dan sedih. Apalagi sama cowok!"

Aku kembali menganggukkan kepala. Rasanya, beruntung sekali memiliki teman seperti Raisya. Cocok sekali denganku yang masih awam soal masalah cinta. Ucapan gadis itu, akan selalu kuingat sebagai pegangan agar tak berlebihan.

Namun diriku, masih penasaran dengan seorang Juandra Pradipta.

___TBC___

Hai-hai, kalian asal dari mana aja, nih?

Luka yang Tak Terucap √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang