24

15 10 0
                                    

Annora harus benar-benar bersyukur atas hadirnya Harsha

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Annora harus benar-benar bersyukur atas hadirnya Harsha. Berkat sosoknya, bayangan Mario perlahan mampu terhapus. Seolah cahanya terganti oleh sinar milik lelaki yang tiap hari menemaninya.

Terlebih saat libur semester ini. Lelaki itu selalu memiliki caranya untuk dapat menghabiskan waktu bersama. Mulai dari mengajaknya menonton bersama, berdiskusi tentang lagu, atau bahkan sekedar mengajak Annora berjalan di bawah sinar bulan.

Seperti saat ini, Harsha kembali mengajaknya berjalan tanpa adanya tujuan.

"Karena pas jalan gini, lo bisa liat sekitar lo. Kalo pas naik kendaraan, bisa aja momen itu nggak ketangkep sama mata kita." Sebuah alasan yang dapat diterima oleh Annora.

"Tapi emang mau kemana?"

"Ya, jalan-jalan aja. Kalo nemu makanan enak ya beli, kalo ada ayunan kosong ya naik." Lagi-lagi sebuah alasan yang hanya dijawab anggukan oleh Annora.

Keduanya lalu hanya berjalan beriringan. Kembali membiarkan suara dari sekitar yang mengisi hening mereka.

"Ra, lo kenapa nggak confess ke Kak Mario?" Netra Harsha terfokus pada Annora yang berada di sebelah kirinya saat pertanyaan itu dilayangkannya.

Annora mengatupkan bibirnya. Berpikir sejenak. Menyusun kalimatnya.

"Gue takut, Sha."

"Apa yang bikin lo takut? Takut ditolak?" Pertanyaan kedua dari Harsha membuat Annora menghentikan langkahnya.

"Duduk di sana, yuk?" Telunjuk Annora menarah pada sebuah ayunan yang kebetulan kosong. Sebuah ayunan yang berada di tengah taman yang cukup sepi. Bertolak belakang dengan taman yang biasa mereka datangi.

"Ra, gue pernah denger, kita nggak bisa ngatur pada siapa hati kita jatuh," ucap Harsha saat keduanya sudah terduduk di ayunan yang ditunjuk oleh Annora. Seakan belum menyerah untuk meminta jawaban dari sang gadis.

"Bener. Kita nggak bisa ngatur pada siapa nanti hati kita jatuh." Annora kembali menyetujui apa yang diucapkan oleh Harsha. "Tapi, Sha. Gue milih buat nggak confess karena, gue takut." Annora kembali menghela napasnya sebelum melanjutkan. "Takut dengan pernyataan gue malah berujung rusaknya hubungan mereka."

Harsha mendengarkan penjelasan dari sang gadis. Ia paham. Ia pun pernah ada di posisi yang sama. Posisi yang dijadikannya alasan mengapa secarik kertas yang berisi ungkapan hatinya itu masih tersimpan di atas meja belajarnya.

"Tapi lo kan nggak tau mereka udah jadian atau belum?" Harsha seakan ingin terus mendorong sang gadis untuk memperjuangkan rasanya.

"Gue rasa udah, deh. Waktu itu Kak Mario sampe chat gue." Jawaban yang cukup menyita perhatian Harsha walau gadis itu mengucapkan dengan tawanya.

"Bentar, Sha. Kok lo tau orangnya Kak Mario?"

***

Sudah hampir seminggu Geandra memilih untuk bungkam saat sosok Annora nampak di hadapannya. Gadis berambut panjang itu bahkan enggan menolehkan kepalanya saat saudaranya itu menyerukan namanya.

Annora sampai berkali-kal meminta maaf kepada Geandra. Namun gadis itu masih memilih untuk mendiamkannya. Mungkin terlalu kecewa.

"Ya ampun, Ge. Gue mana tau Kak Yuda ngajak semua anak Solar Beans dadakan gini." Annora masih belum menyerah. "Lo bertiga aja, deh, sama Om Dharma sama Tante Sesil, liburan sekeluarga, ya?" bujuknya lagi.

"Ya kalo keluarga harusnya lo juga ada, Ra."

Annora kembali menghela napasnya. Rasanya tidak mungkin mengajak gadis yang kini memilih sibuk dengan kanvasnya itu untuk turut serta dalam acara Solar Beans.

Annora berpikir sejenak.

"Ya udah, lo bilang sendiri ke Kak Yuda, ya? Kan dia senior lo?"

"Dih, mending gue nggak ikut kalo harus minta sama Kak Yuda yang nyeremin gitu." Jawaban Geandra sedikit mengundang tawa Annora. Pasalnya, ia pun dulu beranggapan pemilik kedai tempat ia bekerja memang semenyeramkan itu.

"Oke, nggak ikut ya? Jangan ngambek lagi kalo gitu."

"Ih, lo kok nggak usahain gue, sih?"

Giliran Annora yang enggan menjawab. Gadis itu lebih memilih melanjutkan acara siap-siapnya. Matanya sesekali melirik ke arah jam dinding. Memastikan ia tidak terlambat lantaran waktunya hanya tersisa satu jam.

"Gue berangkat, ya?" pamit Annora pada Geandra yang masih berada di depan kanvasnya. Tidak adanya jawaban dari saudaranya itu membuat Annora semakin merasa bersalah meninggalkan gadis itu sendiri.

Beberapa hari lalu, ia sempat meminta untuk tidak ikut. Namun baru saja mulutnya terbuka, sang pemilik kedai itu langsung mengatakan bahwa semua harus pergi. Seakan tahu maksud dari tangannya yang terangkat.

"Ayo, Ra!" seruan dari Harsha menyadarkan lamunnya. Sosok itu sudah berdiri dengan tas besarnya tepat di depan pagar. Tangannya dengan cepat merebut tas yang berada di pundaknya saat jarak mereka sudah dekat. Tanpa memberikan kesempatan gadis itu untuk menolak.

"Kok malah nunggu di sini?"

"Biarin, Kak Ares juga ngajak bareng, tuh." Tangan Harsha menunjuk ke arah sebuah rumah yang sangat dikenalnya. Di depan pagar rumah itu, sudah berdiri dua sosok yang ia kenal. Ares dan Mario.

"Gue duluan, ya? Lo beneran nyusul, kan?" Pertanyaan dari Ares dijawab dengan anggukan oleh Mario.

Sayangnya, jawaban dari Mario tidak tertangkap oleh netra milik Annora. Gadis itu memilih untuk melanjutkan langkahnya tepat setelah bertukar salam singkat.

Mungkin, menatap Mario lebih lama akan membuka kembali luka yang hampir kering. Mungkin, menatap Mario lebih lama akan mengingatkannya kembali akan jatuh yang tidak ia inginkan. Mungkin, menatap Mario lebih lama justru akan membuatnya kembali ingin menyandarkan pundaknya.

 Mungkin, menatap Mario lebih lama justru akan membuatnya kembali ingin menyandarkan pundaknya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Whisper of the Silent Hearts [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang