Bab 3

1 0 0
                                    

Welcome to SHP: 02.44

Tinggalkan bacaan ini jika melalaikan dari beribadah karena sejatinya tujuan manusia diciptakan adalah hanya untuk beribadah kepada Allah Azza Wajalla.
اَتَأْمُرُوْنَ النَّاسَ بِالْبِرِّ وَتَنْسَوْنَ اَنْفُسَكُمْ وَاَنْتُمْ تَتْلُوْنَ الْكِتٰبَ ۗ اَفَلَا تَعْقِلُوْنَ




Sebetulnya, tidak ada hal menarik yang terjadi dalam hidupku. Kalian pernah merasa bosan dengan lingkar hidup kalian?

Seperti; bangun tidur - sekolah - pulang - belajar - tidur - repeat. Begitu seterusnya.

Paling istimewa hari minggu karena aku bisa wisata masa depan. Tiap minggu habis shubuh, pak Iman dan ibu Nor selalu duduk di depan teras rumahnya, pembicaraan ringan mengalir sambil sesekali kudengar tawa kecil mereka saat lewat di samping rumah untuk lari pagi. Terlihat damai di pagi yang dingin. Mungkin, kehidupanku dalam dua puluh tahun kedepan akan begitu, romantis sampai tua dan hidup dengan anak cucu yang lucu, cantik, dan ganteng.

Walaupun tidak bisa kutampik bahwa angan-angan seperti itu mungkin saja tidak pernah terjadi. Kematian atau pernikahan yang menjadi masa depan, itu semua kuasa Tuhan. Aku memilih mengabaikan pikiran random yang muncul di benak ku. Dari pada sok tahu dan menerka jawaban yang sudah digariskan, lebih baik aku memikirkan bagaimana caranya untuk bisa membawa manfaat untuk orang-orang disekitar ku. Setidaknya, perbuatan kecil seperti memindahkan paku di jalan dan sejenisnya.

Omong-omong soal hidup, semua orang memiliki masalah. Aku, kalian, mungkin juga pak iman dan ibu Nor. Tidak ada manusia yang tidak memikul tas dengan isi yang membebani pundaknya, hanya saja bagaimana management emosi sampai bertemu resolusi itu yang berbeda.

Apapun itu, aku tidak berharap semuanya akan mudah, tapi mudah-mudahan dikuatkan oleh yang maha kuasa, 'kan?

Semburat jingga dari ufuk timur berpadu dengan warna biru langit membentuk gradasi indah membuatku terpana. Ada bulan bulat yang enggan beranjak menemani bintang fajar di atas sana, padahal jam sudah menunjukkan pukul enam. Lapangan hijau luas yang dihuni oleh banyak remaja menambah istimewa hari minggu ku. Sendirian di tengah keramaian tidak selalu buruk.

Kebanyakan, Anak-anak enggan bangun sehabis shubuh dan bersiap pergi sekolah. Tidak jarang entong terbang atau teriakan ibu yang jadi alarm alami.

Biasanya, sehabis shubuh aku tidur lagi. Itu kalau weekday. Weekend begini, jarang sekali aku tidur sehabis shubuh. Menikmati fajar menyingsing sambil bertafakkur sejenak melupakan tugas-tugasku yang kian banyak. Sebetulnya tidak. Hanya saja memikirkan mau jadi apa aku setelah lulus menghantuiku tiap malam. Merasa salah jurusan itu wajar, padahal dulu sebelum masuk ke sekolah menengah kejuruan negeri yang beda lima kecamatan dari rumah, aku mantap sekali ingin menjadi teknisi handal. Membantu orang-orang yang ingin bepergian dengan menjaga performa mesin kendaraan mereka. Tentu saja, mereka harus membayarku.

Keputusanku yang ingin berada di jurusan teknik sepeda motor memang tidak ditentang oleh Ami dan kak Eno. Mereka mengiyakan dengan syarat aku harus bertanggungjawab terhadap apa-apa yang menjadi kewajibanku; seperti belajar dan rajin ke sekolah. Tentu tidak mudah, aku sama sekali tidak ada basic menyukai mesin seperti sebagian teman-teman ku. Kalau ditanya bagaimana rasanya berada di kelas yang sembilan puluh lima persen laki-laki bakal ku jawab nano-nano.

Mereka berisik, bau keringat, suara berat mereka tiap bercanda selalu membuatku kaget. Aku tidak bisa berbaur lebih dari sekedar menyapa karena ada yang harus ku batasi. Pergaulan dengan lawan jenis diusia remaja rawan sekali. Ada garis agama yang tidak bisa ku lewati sembarangan.

CANDRAMAWA: Singularitas Hitam PutihTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang