Chapter 6; Fear

132 16 5
                                    

Holaaa~'

Ini chapter yang spesial karena awal mula konflik berawal dari siniii.

Ada banyak daftar kemungkinan tetapi beberapa hal sudah unggul dalam draft BROTHERS itu sendiri. Aku gak sabar buat olah plot-nya.

Oh, ya. Di chapter ini ada beberapa tag yang harus aku ingatkan seperti kata-kata kasar dan respons trauma (dari awal cerita kayaknya aku ga terlalu perhatikan hal ini ya, maafkan akuu)

Selamat membaca🌹

.

.

.

.

.

.

“Aku baru sadar bahwa kau mengenakan kacamata saat itu. Rambutmu juga pendek…”

Tidak terbayangkan oleh Jisung bahwa telah tiba saatnya dia dapat berbincang santai dengan Minsoo. Mereka duduk bersebelahan di barisan kursi atas, hampir tidak mempedulikan tatapan orang-orang yang menyorot penasaran. Untuk pertama kalinya, setelah beberapa waktu, Minsoo tidak mengenakan topi ke kampus. Gadis itu membiarkan rambutnya menjuntai dengan poni menghilang—-menyatu di sisi pelipis.

“Ah, saat awal semester, ya?” Minsoo tanpa sadar memiringkan kepala sambil menopang dagu, sudut sepenuhnya pada Jisung. “Aku membuatnya menjadi pendek. Kau tahu, seorang gadis bisa melakukan apa saja dengan rambutnya. Kacamataku juga tidak berarti apa-apa. Hanya lensa biasa.”

Jisung memerhatikan jari Minsoo yang bergerak di atas kertas seperti tengah membuat suatu pola. Tangannya yang lain meremat spidol agak keras.

Sebelum Jisung berkata sesuatu, gadis itu menegakkan tubuh dan mengambil kertas baru. “Aku menggambar dulu.”

Jisung pun mengangguk meski Minsoo sudah memutus kontak mata. Dia menunggu Minsoo membuat sesuatu melalui tinta spidolnya. Alih-alih gambar yang ia bayangkan, Minsoo justru menulis sesuatu. Kata-kata yang buruk, kata-kata yang tabu, kata-kata yang aneh. Itu tidak menghabiskan waktu bahkan lima menit sampai jarinya aktif mengusung lipatan pesawat kertas. Minsoo menerbangkannya ke samping, hampir mengenai hidung Jisung.

Dari barisan belakang, seseorang terdengar mendengus. Jisung spontan menoleh sementara Minsoo kembali mengeluarkan kertas, tidak terusik sama sekali.

Ketika dia kembali menaruh atensi pada sosok di sampingnya, Jisung tidak lebih ingin menyeret Haechan ke kampus karena Minsoo kini tersenyum tipis seraya menggambar sesungguhnya. Seekor rubah, gumpalan awan, dan sangkar burung yang terbakar.

Jisung menutup mulut sampai kelas berakhir dan perjalanan mereka menuju parkiran mobil. Jisung menawarkan tumpangan, tetapi Minsoo menolaknya. Katanya, seseorang akan menjemputnya. Jadilah mereka berjalan bersama.

“Kau tidak bertanya apa pun?” Minsoo angkat suara. Tatapannya sekilas melintang pada dahan-dahan pohon di sekitar mereka.

“Soal apa?” tanya Jisung.

Pria itu pikir penjelasan Profesor mengenai etiologi penyakit hari ini cukup jelas.

“Soal pesawat kertas. Aku tahu kau sering memungutnya. Itu juga, ‘kan, alasanmu ingin berteman denganku.” Minsoo menghentikan langkah. Tatapannya lurus pada punggung Jisung yang ikut berhenti. “Kau ingin tahu apa alasannya. Seperti orang-orang.”

BROTHERS; Blossom - Park JisungTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang