"Tante!" teriak Bella tepat di telingaku.
Bruk
Aku yang nggak siap dengan teriakan Bella sontak melompat dari atas tempat tidur sampai aku harus berakhir nyungsep di lantai dengan mengenaskan.
Ha ha ha ha ...
"Bella!"
Tawa Bella pun semakin membahana penuh kemenangan mendengar kekesalanku pagi itu.
Dasar anak kutil. Masih pagi udah ngerecokin orang aja.
"Awas kamu, Bel. Sini, Tante cubit ginjalmu," marahku seraya bangkit dari lantai dan mengejar anak sialan itu
Nah, gimana aku nggak murka, coba. Orang lagi enak-enak tidur, dirusuhin bocah gendeng itu.
"Bella, sini kamu. Cepat sini!" seruku di sela langkah, sambil terus mengejar bocah kutil yang masih berlari sambil tertawa penuh kemenangan.
Emang bocah nggak ada akhlak.
"Bella!"
"Tante payah. Masa kejar Bella aja nggak bisa? Huh ... dasar, Tante Babon!"
Bajirut! Malah dia ngatain aku, sekarang.
Wah, ini sih, nggak bisa dibiarin. Awas aja kalau ketangkap, bakalan tak pites nih, kutu satu.
Aku pun mempercepat langkah kakiku tanpa melihat kanan dan kiri lagi. Berusaha lebih keras mengejar bocah itu. Namun, saat aku hampir menangkapnya, bocah itu malah berbelok begitu saja ke arah dapur yang membuatku ...
Brak
Tanpa sengaja menabrak Mama yang sedang membawa tepung di baskom untuk bahan kue. Alhasil, wajahku pun putih semua dengan tepung itu.
"Mama!" teriakku yang nyaris menangis saking kesalnya.
Mama menutup telinganya dengan dramatis, seolah suaraku ini bisa menghancurkan seluruh isi dunia. Sementara bocah sialan yang jadi penyebab semua kekacauan ini malah terbahak kian kencang di balik tubuh Mama.
"Astaga, Intan. Kebiasaan, sih, masih pagi udah teriak-teriak aja. Malu sama ... loh, Tan, mukamu kenapa? Abis mandi bedak, apa abis ketumpahan cat tembok?" Papa yang tiba-tiba muncul dari ruang TV pun langsung menghentikan omelannya saat melihat tampilan ku yang putih semua.
Sementara di belakang Papa, Pak Dika merapatkan bibirnya yang aku tau pasti sedang menahan tawanya melihat tampilan ku yang hancur ini.
Sialan memang. Padahal aku jadi begini juga karena anaknya yang buandel banget. Bukannya minta maaf, pria itu malah ingin menertawaiku. Dasar, duda sialan!
"Ini semua gara-gara bocah rese itu, Pa. Dia tadi ngerecokin tidur Intan, sampai Intan jatuh dari tempat tidur. Makanya intan kejar, mau dicubit tadinya biar kapok. Eh, malah dimandiin tepung sama Mama," aduku tanpa menutupi apapun di hadapan kedua orang tuaku dan bapaknya Bella yang sialnya pagi-pagi udah cakep aja, bikin aku hampir gagal fokus.
Papa dan Mama pun hanya menggeleng tak habis pikir. "Kamu, nih, anak kecil aja dilawan."
Eh, kok malah jadi aku yang disalahin? Tadi, kan yang rusuh si boneka Annabell. Kenapa malah aku yang diomelin?
"Ish, Papa. Ini tuh gara-gara bocah setan itu yang rese."
"Intan," tegur Mama nggak suka dengan ucapanku.
"Apa? Memang bener, kok, tuh bocah emang sialan banget. Jahilnya nauzubillah," tukasku sengit karena terlalu kesal dengan kelakuan si bocah.
"Nggak gitu juga cara negornya, Intan," bantah Mama tak setuju.
"Ya terus, Intan harus gimana? Anaknya udah nggak bisa dibaikin gitu. Semakin lama malah semakin ngelunjak," balasku tak mau mengalah.
"Tap—"
"Saya minta maaf."
Eh?
"Saya belum bisa mendidik anak saya untuk jadi anak manis seperti yang lainnya karena keterbatasan waktu. Saya memang belum bisa mendidiknya dengan baik. Saya minta maaf, ya, Intan. Semoga kamu mau memaafkan saya."
Suasana pagi itu pun langsung hening, saat pak Dika menginterupsi Mama begitu saja dengan permintaan maafnya yang membuatku merasa linglung seketika. Semuanya karena aku ini sebenarnya lumayan sungkan pada pria di depanku ini. Dia sangat pendiam dan jarang terlihat berinteraksi dengan orang lain.
Aku saja lumayan bisa dihitung dengan jari melihat pria ini selama jadi tetangga. Apalagi dengar suaranya yang selama ini hanya terdengar kala menegur anaknya saja. Itu pun selalu dia kata saja. 'Bella, masuk!'
Hanya itu. Selebihnya pria ini memang minim kata fan interaksi. Jelas saja saat akhirnya dia bicara sepanjang itu, bisa apa aku selain terpesona? Pak Mahardika dalam mode banyak omong ternyata lumayan bersahaja.
Lebih anehnya lagi, ketika mendengar suaranya tadi, emosiku pun menyurut begitu saja. Hilang yakntai ke mana, berganti dengan degupan jantung cepat yang kurang ajar.
Jantung nggak ada akhlak!
"Bella, minta maaf sama Tante," titah Pak Dika kemudian melirik anaknya.
Tidak keras memang. Hanya suara penuh ketegasan, tapi membuat Bella cemberut dan maju menghadapku.
"Bella minta maaf, Tante," lirihnya sambil menunduk.
Kalau sudah seperti ini, bisa apa aku selain memaafkan?
"Iya Tante maafin. Jangan diulangi lagi, ya?" balasku sekenanya.
"Iya, tapi ... Bella boleh ngomong sesuatu nggak, sama Tante?" jawabnya bertanya.
"Apa?" sahutku kepo.
"Tante nggak pakai beha, ya? Pentilnya keliatan, tuh."
Dasar, anak setan!
KAMU SEDANG MEMBACA
BOCAH RESE
Roman d'amourAku Intan Mulia Mardani. Mahasiswi tengah semester, yang tiba-tiba punya tetangga seorang duda yang gantengnya gak kaleng-kaleng. Mahardika Akbar Fahreza. Sayangnya, tuh duda punya anak yang nakalnya naudzubillah karna tiap hari buat aku naik darah...