Tebengan Gratis

70 3 0
                                    

"Tante!"

Astaghfirullah

Aku langsung meloncat kaget saat seruan itu menggema begitu saja dari belakangku. Saking kagetnya, bahkan donat yang sedang aku makan pun melompat dari tanganku dan meluncur mulus ke arah got di sebelahku.

Ya salam. Sarapanku, tuh!

Tak ayal, karena hal itu, aku pun langsung melirik cepat dengan sinis ke arah belakang. Tepatnya pada mobil range rover sport warna putih. Di mana pada salah satu kacanya menampilkan anak setan yang sedang tertawa kemenangan melihat penderitaan ku pagi ini.

Oh, tentu saja, dia kan anak setan. Pastinya akan selalu bahagia di atas penderitaan orang lain.

"Bocah rese! Pagi-pagi udah bikin orang jantungan aja, Kamu," omelku kesal, tapi malah ditanggapi Bella dengan tawa yang semakin renyah.

Dasar bocah nggak ada akhlak.

"Biarin." Seperti biasa, bocah itu pun malah meledekku dengan menjulurkan lidahnya setelahnya. Membuatku semakin kesal dibuatnya.

Dasar sialan. Dosa apa aku, punya tetangga macam nih bocah?

"Tumben berangkatnya sendiri, Tan. Pacar kamu yang itu, nggak jemput?" Tiba-tiba Pak Dika mengeluarkan suaranya dari balik kemudi. Dia seperti tidak terganggu pada interaksi ku dan anaknya.

Mungkin dia sudah biasa melihat kami perang. Karena memang bagiku dan Bella, tidak ada hati tanpa ribut. Ada aja, keusilan bocah itu yang selalu membuatku kesal dan marah.

"Dia lagi sibuk ngurus persiapan penerimaan maba tahun ini. Makanya nggak sempet jemput," jawabku dengan jujur.

"Oh, ya udah. Masuk, Tan, saya anterin sekalian."

Eh, kok dia baik?

"Nggak usah, Pak. Saya bisa berangkat sendiri, kok." Tentu saja aku harus tetap jual mahal supaya nggak dianggap cewek gampangan.

"Ih, Tante. Jangan pakai lama deh. Buruan, Tante. Nanti Bella telat," tukas Bella seenaknya.

Lah? Utusannya sama aku apa, coba?

"Nggak masalah, Tan. Kebetulan saya juga nanti lewat kampusmu, kok. Ayo, sekalian bareng aja,"timpal Pak Dika lagi.

"Tapi—"

"Nggak usah sok jual mahal Tante. Diobral aja tuh Tante belum tentu ada yang mau. Makanya, mumpung Papa lagi baik, buruan masuk," titah bocah itu lagi tanpa tau sopan santun.

Kurang asem emang nih bocah sebiji!

Namun, mau bagaimana lagi? Aku akhirnya mengalah dan ikut masuk ke kursi belakang mobil mahal itu. Lumayan, bisa ngirit ongkos.

Baru saja aku mendaratkan pantat dengan nyaman, Bella tiba-tiba merangkak dari kursinya dan berpindah duduk ke sebelahku. Dia meninggalkan ayahnya yang fokus menyetir.

Ya ampun, bocah ini. Dia mau apa lagi, coba?

"Tante, sisirin dong."

Hah?

Tentu saja aku langsung bengong menerima titah kurang ajar Bella sambil menyerahkan sebuah sisir dari dalam tasnya.

Apa-apaan, sih, dia ini? Masa perihal nyisir aja harus ngerjain aku juga.

"Kamu kan bisa nyisir sendiri, Bel," tolakku nggak mau begitu saja dijadikan babu oleh bocah itu.

"Susah, Tante. Rambut Bella kan panjang," jawabnya sambil meletakkan paksa sisir itu ke tanganku, sebelum berbalik memunggungiku.

Rese banget, sih!

Sebenarnya, aku males banget nurutin kemauan nih bocah. Berhubung lagi numpang mobil bapaknya, aku pun terpaksa menuruti keinginan si Ratu Isabella ini. Ya ... itung-itung bayar ongkos tebengan.

"Kuncirin sekalian ya, Tantemu soalnya hari ini Bella ada mapel olahraga. Ribet kalo digerai."

Ngelunjak! Dikasih hati minta jantung.

"Mana kuncirannya? Tante nggak punya ikat rambut lebih," balasku kesal.

"Di dalem tas. Di kantong pertama."

Nah, kan, sekarang dia semakin nggak tau diri nyuruh ngambillin sekalian. Kan itu tas ada di kakinya. Apa dia nggak bisa ambil sendiri?

"Kuncir dua yang imut, Tante.  Biar aku semakin lucu."

Allahurobbi ...

Baru juga ketemu nih kunciran, eh dia udah nyuruh lagi seenaknya. Dasar anak bisul! Tau gini, mending tadi nggak usah nebeng.

"Buruan, Tante. Bentar lagi kita sampe."

Sabar, Tan. Orang sabar disayang Dika— eh, Guntur maksudnya. Duh, kacau. Kenapa malah jadi ngarepin bapaknya nih bocah, coba?

"Nih, udah kelar semua," balasku setelah memastikan ikatan di rambut Bella terpasang sempurna.

Padahal, harusnya kuikat saja sekalian tadi lehernya. Biar nih bocah nggak bisa bertingkah lagi. Aman pasti hidupku setelah inu. Apalah daya aku masih takut dosa. Jadi, mending pending dulu, deh, jahatnya. Masih muda ini. Lain waktu masih bisa, ya, kan?

"Dadah, Tante! Besok-besok kuncirin lagi, ya, biar Bella semakin cinta sama Tante. Muah ..."

Aku pun langsung memutar mata jengah menanggapi salam perpisahan dari Bella barusan dari balik jendela mobil.

Ya, dia memang sudah sampai di sekolahnya dan aku sudah bisa bernapas lega setelahnya.

"Nggak usah lebay. Minggat sana, kau Tuyul," balasku sambil menjauhkan wajahnya dari mobil yang membuat bocah itu memberengut kesal.

"Dasar, Tante jelek. Pantes jones," ejeknya sebelum menjulurkan lidah dan lari begitu saja.

Dasar, bocah tengik! Setelah itu, tanpa menghiraukan apapun, Pak Dika pun menjalankan mobilnya kembali, menjauh dari sekolah Bella.

Sebenarnya, aku ingin menawarkan diri untuk berpindah ke depan setelah Bella pergi tadi. Soalnya nggak enak juga duduk di belakang begitu sendirian. Berasa kurang ajar aja gitu. Secara nggak langsung gsung, aku kayak jadiin Pak Dika sopir dengan duduk di depan sendirian. Padahal, aku cuma nebeng, loh, tapi posisi kami malah kayak sopir dan majikan. Aku jadi nggak enak hati.

Namun, berhubung Pak Dika diam saja, aku pun jadi sungkan ngomongnya. Apalagi setelah mobil berjalan kembali, Pak Dika benar-benar tidak membuka obrolan sama sekali yang membuatku malah jadi ngantuk karenanya.

Alhasil, aku memang tertidur setelahnya karena hawa dingin dan suasana hening. Memang perpaduan yang klop buat bobo egen. Apalagi ini juga masih pagi, ya, kan? Semakin, deh, aku pulesnya.

Terserah deh, Pak Dika mau anggap aku nggak sopan atau gimana. Salah siapa nyuekin aku, kan aku jenuh.

"Tan, sudah sampai."

Aku merasakan seseorang mengguncang bahuku yang membuatku terbangun dengan kinglung. Jujur saja, aku belum rela dibangunkan. Asli, nih mata kayak salah muda. Sempet banget!

"Bangun, sudah sampai," jelas Pak Dika lagi dan aku mengerjap beberapa kali hingga semua kesadaranku perlahan muncul.

Astaga!

Setelah itu, aku pun gelagapan karena merasa malu sudah ketauan tidur di mobil Pak Dika.

"Eh, maaf, Pak. Itu, tadi saya ...." Aku malah meracau bingung setelahnya. Membuat pria itu terkekeh pelan. Dia tiba-tiba saja menyodorkan selembar tisu kering padaku.

Eh, ini maksudnya apa?

"Iler kamu mengotori kaca mobil saya."

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 19 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

BOCAH RESETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang