Gara-gara mulut tanpa saringannya si Bella, aku pun dengan refleks menyilangkan tangan di depan dada untuk menutupi bagian yang Bella sebutkan tadi. Sebelum akhirnya menjerit histeris dan lari ke lantai atas, kembali ke kamarku.
Sumpah demi neneknya Tapasya yang jahat. Aku malu banget!
Tentu saja, tadi itu kan ... Astaga, mau ditaruh di mana mukaku setelah ini?
Oke, aku akui memang yang dikatakan si Bella itu benar adanya. Aku memang terbiasa tidur tanpa dalaman apapun. Hanya daster rumahan yang panjangnya hanya selutut. Namun ... Oh, ayolah. Aku rasa yang punya kebiasaan seperti itu bukan cuma aku, bahkan aku yakin 90% wanita memang suka tidur tanpa benda-benda sialan uang sering bikin nyesek itu. Iya, kan? Ngaku aja!
Nah, cuma masalahnya adalah ... kenapa si Bella harus mengatakannya selugas itu, sih? Aku kan tengsin banget. Mana ada bapaknya pula di situ. Aduh ... sumpah demi apapun, aku rasanya mau hilang aja dari bumi ini selamanya. Sayangnya, itu cuma akan jadi anganku saja karena saat hari menjelang sore, si bocah gendeng itu kembali merecokiku.
Kali ini, dia seenaknya datang ke kamarku dan minta ditemani belajar sepeda. Kan, nih bocah memang minta dimutilasi. Nggak tau apa, kalau aku masih dalam mode sembunyi karena tengsin akibat kelakuannya?
"Bel, minta bapakmu saja sana yang ajarin. Jangan gangguin Tante lagi," omelku yang masih kesal padanya.
"Papa lagi pacaran. Gak bisa diganggu."
Eh, apa katanya?
"Pacaran? Bapakmu emang punya pacar, Bel?" tanyaku akhirnya mulai kepo.
Bella berdecak mendengar pertanyaan dariku. "Tante ini gimana, sih? Papanya Bella, kan, ganteng, tentu aja punya pacar. Memangnya Tante, jones."
Sialan! Malah aku dikatain. Dasar bola bekel.
"Sembarangan kamu kalo ngomong. Gini-gini, Tante itu punya pacar, tau," balasku tak mau kalah.
"Siapa? Om yang waktu itu?" tanya Bella.
Aku baru saja mau mengangguk dengan bangga, sebelum nih kutil satu seenaknya bicara lagi.
"Jangan halu, Tante. Orang cakep kayak gitu, mana mau sama Tante. Palingan juga Tante cuma dijadiin mainan aja. Udah putusin! Lagian, kata nenek, pacaran itu dosa tau. Mending langsung nikah aja, menjauhi dosa zina."
"Sok tua kamu, Bel." Aku mendorong kepala mungilnya dengan gemas.rmbuat gadis itu cemberut tak terima.
"Lagian, ngapain kamu ngomongin soal pacaran itu dosa? Lah, katanya tadi bapakmu lagi pacaran. Sana, ceramah depan bapakmu kalo berani," tantangku kemudian.
"Siapa yang pacaran?"
Eh?
Kepalaku pun sontak berputar ke arah pintu saat suara bariton itu tiba-tiba terdengar.
Mampus! Lagi enak-enaknya ghibahin orang, malah muncul dia. Alamak, mati ajalah, ini mah.
"Papa?" seru Bella saat melihat penampakan bapaknya yang muncul begitu saja di ambang pintu kamarku.
Bocah itu pun melompat ke tubuh bapaknya, yang langsung ditangkap dengan sigap oleh pria itu.
"Papa udah selesai kerjanya? Udah bisa temenin Bella belajar sepeda, dong. Iya, kan?"
Tunggu!
Bukannya tadi si Bella bilang bapaknya lagi pacaran ya? Kok sekarang dia bilang kerja, sih?
Lah, ini yang budek aku atau memang si Bella yang baru saja nyebarin hoax? Malah jafubnggaj sinkron gini.
"Udah. Ini makanya Papa jemput kamu ke sini," jawab Pak Dika lembut sekali yang membuatku salfok lagi.
Sialan! Bella yang dilembutin, kenapa aku yang baper, coba?
"Ya udah, ayo, Pa. Lagian Tante Intan nggak asik. Masa Bellainga ajarin cara naik sepeda malah dialihin jadi bahas pacaran. Nggak bagus buat Bella, ya kan, Pa?"
Bangke, nih bocah malah nebar racun, lagi.
"Sembarangan," sergahku tak terima. "Yang duluan bahas pacaran siapa coba, kan kamu,"sambungku membela diri.
"Dih, kok jadi Bella?"
"Lah iya. Kamu kan yang awalnya bilang bapakmu nggak bisa nemenin karena lagi pacaran. Terus ujung-ujungnya malah bawa-bawa, dosa. Udah, ngaku aja kamu, Bel," desakku tak mau mengalah.
Biar dikata nih bocah masih piyik, kalau bibir netizen sudah terlihat, wajib banget dibasmi dari usia dini.
"Tapi, kan, Bella nggak bilang Papa pacaran sama orang."
Eh, maksudnya?
"Papa emang tadi pacaran, tapi sama kerjaannya, bukan sama orang. Itu sih, Tante aja yang cemburuan, makanya langsung kepoin siapa pacar Papa. Iya, kan?"
Asem. Dia ngerjain aku ternyata.
"Bel, Tante nggak—"
"Jadi kamu cemburu sama saya, Tan?"
Eh?
"Nggak gitu ceritanya, Pak. Saya—"
"Nggak papa, saya ngerti," sela Pak Dika seenaknya sambil menepuk kepalaku sebelum pergi begitu saja meninggalkan aku yang masih megap-megap di dalam kamar.
Astaga!
Ini bapak sama anak kenapa, sih? Bikin pusing banget kelakuannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
BOCAH RESE
Storie d'amoreAku Intan Mulia Mardani. Mahasiswi tengah semester, yang tiba-tiba punya tetangga seorang duda yang gantengnya gak kaleng-kaleng. Mahardika Akbar Fahreza. Sayangnya, tuh duda punya anak yang nakalnya naudzubillah karna tiap hari buat aku naik darah...