Canggung. Kata itu yang menggambarkan perjumpaan pertama mereka. Malik masih mengenakan seragam putih biru pada saat itu. Sementara dia, sudah mengenakan rok abu-abu. Malik si anak baru di sekolahnya, berkunjung ke rumah Iqbal, teman sekelas sekaligus sebangkunya yang terkenal supel dan memiliki banyak teman. Di sanalah pertemuan mereka terjadi.
Malik bukan murid yang istimewa. Dia pindah ke Bandung bersama ibu dan dua adiknya karena orang tuanya bercerai. Hidupnya tidak mudah. Tinggal di kontrakan sempit, menempati satu kamar petak bersama kedua adiknya yang lain dan harus berhemat demi bisa makan dan berangkat sekolah setiap hari.
Berteman dengan Iqbal tentu sebuah anugerah. Meski berasal dari keluarga kaya, Iqbal terbiasa hidup sederhana. Berangkat dan pulang sekolah naik kendaraan umum bersama teman-temannya, serta menikmati jajanan rakyat yang dijual di kantin serta sekitar sekolah. Bahkan tempatnya bersekolah adalah SMP Negeri yang rata-rata muridnya berasal dari keluarga menengah.
“Main ke rumah gue, yuk,” ajak Iqbal setelah beberapa minggu mereka berteman.
Malik bersedia saja. Selama berteman dengan Iqbal, tidak ada sesuatu yang buruk tentang pemuda tersebut. Namun, Malik dibuat kagum ketika menginjakkan kaki di rumah Iqbal. Luasnya berkali lipat dari kontrakan sempitnya, memiliki lantai dua, garasi luas, arsitektur khas mediteran, serta halaman yang luas.
“Ayo. Gue kenalin sama keluarga gue.” Iqbal menarik tangan Malik yang masih melongo. Malik berkenalan dengan Nanang Supriatna, ayah Iqbal yang seorang pengusaha meubel, serta Priyanti, ibu Iqbal yang merupakan pegawai BUMN. Kemudian, gadis itu muncul.
“Ninda. Aku kakaknya Iqbal,” ucap gadis itu dengan wajah penuh senyumnya.
Sejenak Malik lupa caranya berkedip. Mungkin, itu adalah pengalaman pertamanya terpesona. Aninda Rahma Supriatna adalah gadis campuran Jawa-Sunda yang manis, murah senyum, dan anggun. Rambut panjangnya seperti sutra yang berkilau, sementara suaranya begitu nyaman didengar telinga.
“Makan dulu, yuk. Habis itu ngerjain PR dari Bu Fanny,” ajak Iqbal.
Setelah berbulan-bulan, itu adalah kali pertama Malik makan di meja makan dengan menu lengkap dan keluarga yang hangat. Rasanya Malik ingin menangis ketika menyadari bahwa keluarganya hampir tidak pernah makan satu meja dengan obrolan yang hangat. Ayah dan ibunya sering sekali bertengkar sejak Malik masih SD. Jangankan makan di satu meja, Malik lebih sering makan bertiga bersama adik-adiknya dengan menu yang sangat sederhana.
“Malik,” panggil Ninda saat Malik selesai mencuci piring makannya. Gadis itu menghampirinya di dapur. Tangannya tersembunyi di balik punggung.
“Ya, Kak?” jawab Malik.
“Suka cokelat, nggak?” tanya Ninda.
“Suka.” Malik mengangguk.
Ninda mengeluarkan tangannya yang menggenggam sebatang cokelat buatan lokal berukuran besar dan menyodorkannya pada Malik. “Nih, buat kamu.”
“Beneran, Kak?” Ninda mengangguk yakin. “Makasih, Kak. Nanti aku bagi sama adik-adik.”
“Adik-adik kamu juga suka cokelat?”
“Iya, Kak. Apalagi yang bungsu. Namanya Shila. Dia suka banget.”
Ninda mengangguk-angguk sebelum berucap, “Tunggu sini, ya.”
Malik hanya melongo ketika Ninda memelesat dari hadapannya. Beberapa saat kemudian, gadis itu kembali dengan lebih banyak cokelat di tangannya dan menyodorkan pada Malik. “Ini buat adik-adik kamu.”
“Ini … banyak banget, Kak. Satu aja cukup,” ujar Malik segan.
“Jangan, dong. Kalau satu, nanti kurang. Bawa, ya. Kapan-kapan aku kasih lagi.” Ninda meletakkan cokelat-cokelat tersebut ke tangan Malik. Pemuda tanggung tersebut kembali melongo namun sangat senang.
![](https://img.wattpad.com/cover/356646189-288-k513658.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Noona, You're So Pretty (Short Stories)
Historia CortaIni kisah yang tidak biasa. Ketika para laki-laki jatuh cinta pada perempuan yang lebih dewasa. Seorang murid yang jatuh cinta pada ibu gurunya, seorang junior bandel yang suka membuat masalah hanya demi bisa dipanggil ke ruang kedisiplinan di mana...