Sebenarnya, aku takut dengan waktu yang terus berputar. Ia seolah tak berhenti memberikan kejutan-kejutan mengerikan yang harus kuhadapi di tiap harinya. Pun sang pilu jua bersorak-sorai, merayakan riuhnya badai itu. Memporak-porandakan hati dan pikiranku yang sudah kacau sejak dini. Sudah kesekian kalinya aku berkelana, menerjang badai yang tak kunjung reda, hanya berbeda rupa dan suara. Namun rasa-rasanya badai itu tak ingin tenang. Ia selalu mencekam, kapanpun, dimanapun. Aku lelah, ingin rasanya aku menyerahkan diriku pada badai itu. Membiarkannya menelan diriku hidup-hidup, hingga aku lenyap, tak bersisa, tak berjejak. Namun, justru ia hanya berputar di sekelilingku, seolah mengejekku yang tak bisa beranjak ke manapun karenanya.
Sungguh, aku juga ingin berusaha, seperti katamu, yang memaksaku beranjak dari kediamanku, menonton acara TV kesukaanku, bergerak melakukan sesuatu. Namun nihil, aku yang terombang-ambing oleh sang badai tentu saja sulit untuk melakukan sesuatu. Sungguh, Tuan, aku juga ingin berusaha. Namun sayap, tangan, dan kakiku patah oleh badai itu. Seolah aku tak diizinkan untuk beranjak pergi ke mana-mana, dan kuakui, aku telah berulangkali membunuh diriku sendiri di pikiranku. Semua sia-sia, rencana, ide, dan semua yang telah kupikirkan. Terbunuh berkali-kali di hadapanku. Maafkan aku, Tuan, jika kau melihatku menyerah, itu bukan karena aku ingin, tetapi karena aku sudah terkulai karena sang badai.