Punggung pemuda itu rasanya pegal sekali setelah duduk berjam-jam dengan sang saudara kembar. Sekarang sudah pukul 22.30 WIB dan ia sudah menguap puluhan kali. Sayang sekali Genta sama sekali tak merasa kasihan. Pemuda tersebut masih saja menjelaskan sambil sesekali mengomel karena Aghya tidak fokus. Lalu tak segan mengetuk jidat Aghya dengan pulpen sampai kedengaran bunyinya. Aghya ingin marah, tetapi kegiatan rutin ini adalah perintah Ibu Negara, yang mana tak boleh ditinggalkan. Kalau belum tengah malam, mereka belum boleh berhenti.
Aghya mendengkus kasar. "Udah kali, Ge. Pusing ini pala gue!" protesnya.
"Gue juga pusing ini lo gak paham-paham. Padahal harusnya sekarang udah masuk materi yang baru. Lelet amat, sih, otak lo."
"Heh, gue begini juga karena kelamaan dalem perut nungguin elu brojol!"
"Kok malah nyalahin gue? Kambing!"
Perdebatan mereka bisa jadi panjang kalau saja Nirmala tidak masuk. Ibu tiga orang anak itu langsung bersidekap ketika melihat si kembar bukannya belajar malah memegang kerah kaos satu sama lain. Ia menggeleng sambil menghela napas.
"Genta, kamu tidur aja. Biar Aghya lanjut belajar sendiri. Besok Papa mau ajak kamu liat-liat ke kantor barunya," ujar Nirmala.
"Aghya gak diajak, Ma?" Genta buka suara. Biasanya mereka berdua memang sesekali diajak ke kantor sang papa. Kebetulan papa mereka baru saja naik jabatan dari direktur pelaksana menjadi direktur utama.
Nirmala melirik sejenak ke Aghya. Anak itu memasang wajah penuh harap. Yang sayangnya langsung dipatahkan begitu saja. "Nggak. Dia aja belajar kayak gini belum bener. Dia belum siap buat diajak tau lebih dalam soal bisnis. Malam ini biar dia belajar sampai materi terakhir. Ketertinggalannya harus dikejar sekarang atau dia bakal susah masuk kuliah."
"Ya udah. Gitu aja. Kamu balik ke kamar ya, Ge. Mama mau cek Tasya udah tidur atau belum."
Malam itu Aghya pun ditinggal sendiri. Menyelami materi yang walaupun sudah dibaca berulang kali tetap saja tak bisa ia resapi. Aghya memang sulit belajar kalau sudah mengantuk, sayangnya Nirmala tidak aware akan hal itu. Aghya pun tetap memaksa duduk di sana sampai matanya benar-benar lelah. Sebab itu hal terakhir yang dapat ia lakukan sebagai usaha untuk menyenangkan sang mama.
Menjadi Aghya yang pintar dan berprestasi dalam akademik—
"Shit," desis Aghya ketika warna merah mengotori bukunya. Disusul pening setelah itu. Langganan ketika Aghya sudah sampai batas maksimal. Tubuhnya pasti akan segera protes.
—walaupun harus mengorbankan darah, keringat, serta air mata.
[]
Lanjut gak nihhh????
KAMU SEDANG MEMBACA
How to Be Aghya
Novela JuvenilHidup jadi Aghya pasti sangat menyenangkan, pikir orang-orang. Mereka selalu merasa kagum dengan Aghya yang datang dari keluarga kaya sekaligus memiliki saudara berprestasi. Tidak ada celah yang mereka lihat dari Aghya. Tanpa mereka tahu kalau Aghya...