02

525 70 3
                                    

Sebagai sepasang anak kembar yang tidak identik, Aghya dan Genta memang tidak terlalu mirip secara fisik. Mereka sering kali mendapat perkataan bahwa kemiripan mereka hanya seperti kakak beradik, bukan sepasang anak kembar. Kepribadian mereka juga cukup bertolak belakang. Namun, mereka memiliki ikatan batin yang kuat. Mereka bisa merasakan jika salah satu mereka sedang tidak baik-baik saja. Contohnya saat Aghya masuk rumah sakit kemarin. Genta merasa gelisah dan akhirnya meminta sang mama untuk pulang lebih awal dari yang terjadwal. Perasaan Genta tidak enak, ia terus teringat dengan Aghya yang ditinggal di rumah.  

Aghya juga sering demikian. Dia selalu jadi adik yang peka untuk si Genta. Dia paham kalau Genta terkadang gengsi untuk mengutarakan apa yang ada dalam hatinya. Maka dari itu Aghya sebisa mungkin membuat Genta bisa menjadi sosok yang jujur ketika mereka bersama. Walaupun sulit sekali di kenyataannya untuk membuat Genta berhenti mengedepankan rasa gengsi. Sering kali Genta memilih menyimpan sendiri semua sakit hati dalam diri. 

Meski mereka punya ikatan batin yang kuat, mereka tetap sering bertengkar. Komunikasi mereka pada dasarnya memanglah buruk. Selalu saja ada salah paham yang menyebabkan pertengkaran atau kadang sesepele salah tangkap ketika bergurau. Begitulah dinamika hidup mereka sebagai sepasang anak kembar. Selalu ada masa di mana mereka akan ribut sepanjang hari, tetapi ada juga titik di mana mereka akan memperlihatkan kasih sayang masing-masing selayaknya saudara. 

"Tuh, sepatu yang lo pengenin dari kemaren," ujar Genta seraya melemparkan paper bag besar ke atas ranjang Aghya. Si empunya sedang berbaring menyamping dan buru-buru bangkit saat merasa ada guncangan. 

Aghya mengerutkan dahi. Ia bahkan tidak tahu sepatu mana yang dimaksud—saking banyak wishlistnya. "Widih. Siapa yang ngasih?" 

"Oma. Lo, kan, cucu kesayangan." 

"Waw!" pekik Aghya setelah membuka box sepatunya. Sepatu itu sulit sekali dicari karena baik di offline maupun online store selalu saja sold out. Aghya bahkan mengira tak akan bisa memakai sepatu itu sampai masa tenarnya selesai. Itu juga paling-paling preloved. Saat sudah hendak menyerah, ternyata ada berkas cahaya yang menggapainya. "Kok bisa dikasih sama lo? Emang Oma ke sini, ya?" 

"Enggak. Dikasihnya ke Mama, tapi dia males ngasih langsung sama lo." 

"Marah mulu kayanya Bu Nirmala." 

"Lagian elu juga nyari gara-gara mulu!" kata Genta dengan wajah masam. Kadang adik kembarnya ini tidak tahu diri. Selalu membuat masalah dengan sang mama, tetapi mempertanyakan kenapa mama mereka selalu marah-marah.

Kekehan kecil Aghya kemudian lolos. Ia paham kalau Genta pasti akan selalu ada di pihak Nirmala. Padahal jelas-jelas mama mereka selalu mencoba memaksakan kehendak padanya. Aghya kemarin dimarahi karena ketahuan main game setelah belajar. Posisinya sudah tengah malam dan memang salah Aghya juga, sih, tidak pura-pura tidur terlebih dahulu baru bermain game. Alhasil Nirmala masuk dan memergoki Aghya sedang main game, lalu selanjutnya mengomel sampai Aghya sakit kepala. 

"Lo tau sendiri gue lagi ngejar rank temen-temen gue supaya enak pas party-an. Mereka mah gampang di rumah gak perlu curi-curi waktu. Asal udah kelar les, tinggal gas login. Di sekolah pas istirahat juga sempet main satu match. Belom lagi temen-temen gue yang online. Mereka pasti nungguin gue. Bahkan tengah malem gitu juga mereka belain begadang demi main sama gue. Terus lo berharap gue nurut Mama dengan berhenti main? Mending gue berhenti sekolah." 

Ujaran tersebut mendapat respon negatif dari Genta. Sontak pemuda itu menoyor kepala Aghya tanpa belas kasihan. "Rusak otak lo kebanyakan main game!" 

"Ini biar gue gak stres, anying! Kalo lo mungkin bisa ngeluapin stres dengan olahraga, ngegym, atau apalah itu yang lo suka. Gue juga harusnya bisa kayak gitu. Lo mau kembaran lo ini stres? Tega lo." 

How to Be AghyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang