01

1K 130 33
                                    

[]

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

[]

How does it feel to be a twin?

Entah angin apa yang mendorong Aghya untuk mengetikkan kalimat itu di kolom pencarian internet. Ia menggulirkan layar ponselnya. Tidak tahu hendak mencari apa. Aghya tidak mencari validasi atas perasaannya sekarang, tetapi ia sedikit sakit hati dan iri karena kebanyakan dari jawaban di internet adalah jawaban yang positif. Mereka merasakan hal-hal positif sebagai anak kembar. Yang bisa Aghya pastikan tak pernah ia rasakan selama tujuh belas tahun hidup.

Saat ini kondisi rumah benar-benar sepi. Semua orang pergi ke kantor baru Ardhana. Nirmala tidak bercanda ketika bilang Aghya tidak diajak. Wanita itu selalu serius dengan perkataannya. Ia sama sekali tak pernah sekadar mengancam. Kalau ia bilang A, ia akan melakukan A. Sebuah kepribadian yang sangat membuat Aghya kesulitan. Sebab ia jadi tak bisa merasakan sisi keibuan dari ibunya sendiri.

"Makan apa, ya?" gumam Aghya. Bicara pada diri sendiri. Sekarang sudah pukul sepuluh dan belum ada apapun yang masuk ke perutnya. Bunyi kruyuk-kruyuk dari perut pemuda itu pun meramaikan suasana sejak tadi.

Didorong oleh rasa lapar yang sudah tidak bisa ditahan lagi, Aghya lantas turun ke dapur. Di tudung saji masih ada sisa sarapan, tetapi ia kurang suka menunya. Menu hari ini disiapkan berdasarkan kesukaan Ardhana. Sementara selera Aghya sangat berbeda dari sang papa. Mau tak mau sekarang Aghya harus mencari stok mie instan untuk mengisi perut.

"Jing, masa tinggal ini, sih?" gerutu Aghya ketika menemukan mie instan dengan bungkus perpaduan hitam dan merah. Sudah pasti rasanya pedas. Pemuda itu kemudian menggaruk tengkuk. "Kalo digadoin pake nasi nggak bakal terlalu pedes kali, ya?" pikirnya. Aghya kurang bisa mentolerir rasa pedas sekarang. Padahal ia dulu kuat sekali makan makanan dengan cabe seabrek.

"Bismillah ya Allah."

Aroma menyengat dari bumbu mie instan itu sebenarnya membuat Aghya sedikit takut. Namun, ia sudah terlanjur lapar. Maka mau tak mau tetap ia makan walau sampai berkeringat dan ingusan. Lidah, bibir, dan perut Aghya seperti ada bara api saat ini. Menyala dan terbakar. Aghya tidak berekspektasi akan sepedas ini. He is doomed.

Usai membereskan kekacauan di dapur, Aghya buru-buru naik ke kamarnya. Memang salah Aghya karena tak memperkirakan toleransi perutnya. Sekarang Aghya pasrah saja dengan apapun yang aķan terjadi. 

***

Siapa sangka kalau Aghya malah terbangun di IGD setelah bolak-balik kamar mandi. Ia tidak terlalu ingat bagaimana ia bisa sampai terjerumus ke tempat ini. Namun, patut disyukuri karena sekarang rasa mual dan sakit perutnya sudah berkurang. Heartburn yang tadi menyiksa juga tak terasa. Oh, mungkin karena ada nasal kanul yang membantunya bernapas. Aghya merasa tenang karena efek dari kebodohannya tidak sampai membuat ia meninggal.

Jujur, Aghya tidak tahu kalau lambungnya semanja ini sampai harus ke IGD perkara makan mie pedas. Beberapa kali memang sempat berulah, tetapi sebatas level UKS atau klinik dekat rumah. Itupun Aghya sendiri yang punya inisiatif karena yang lain sibuk mengurusi Tasya.

How to Be AghyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang