Prolog

177 18 3
                                    

Hujan, badai, beserta angin ribut, tidak akan gentarnya mengganggu kehidupan dari seorang anak sulung.

Mereka pasti di anggap sebagai harapan terbesar dari sebuah keluarga, tetapi malah lebih sering di banding – bandingkan dengan adik–adik mereka.

Tak hanya sampai di sana mereka juga harus menjadi contoh yang baik bagi para adik mereka.

Salah sedikit saja, anak pertama akan langsung mendapatkan hukuman yang mencekam dari pada adik mereka, yang biasanya selalu dimanja dan tidak di tuntut dalam suatu hal.

Mereka merasakan pedihnya menjadi sosok kakak yang akan siap untuk di salahkan ketika ia lalai saat sang adik jauh dari pengawasannya.

Lantas, bagaimanakah jika peristiwa ini terjadi pada anak yang sedari ia baru memasuki usia setahun saja, ia sudah merasakan apa itu yang dinamakan anak sulung.

Anak itu tidak lain ialah Mahesa Gyano Alvarendra, sosok si sulung yang memiliki cerita tersendiri pada keluarganya yang dapat dikatakan amatlah cemara.

Hari itu, hari di mana semua orang berbahagia atas kelahiran bayi mungil bernama Jidan Panjalu Alvarendra adik dari Mahesa.

Awalnya, Mahesa berfikir jika memiliki adik bukanlah hal yang buruk. Namun sepertinya dugaannya salah.

Selang beberapa bulan, ia menyadari perubahan yang di tunjukkan oleh kedua orang tuanya terhadap diri Mahesa, juga Jidan.

Ia berfikir. Apa alasan kedua orang tuanya itu menjauh darinya? Sempat ia menepis pikiran negatif yang muncul pada benaknya pasal masalah perubahan sikap dari ayah dan ibu.

Sayangnya, seiring berjalan waktu, makin lama sikap orang tuanya terlihat jelas di mata Mahesa.

Entah apakah itu mulai dari tingkah mereka yang selalu melarang Mahesa yang ingin melakukan suatu hal, sedangkan Jidan tanpa meminta saja sudah di turuti kemauannya.

Tak hanya itu, pernah sekalinya Mahesa membuat kesalahan kecil yang sebenarnya bukan salahnya, dan lebih sialnya sang ayah tak segan untuk menghukum Mahesa.

Dari tragedi itulah Mahesa tersadar, jika kedua orang tuanya memang tengah membandingkan dirinya dengan sang adik. Dari sini kisah Mahesa sebagai kiasan usang dalam keluarganya di mulai.

⋆ ˚。⋆୨୧˚ *SULUNG* ˚୨୧⋆。˚ ⋆

Tahun demi tahun telah berlalu, tak terasa kini Mahesa telah menginjak usia 17 tahun dan kini ia juga telah menginjak bangku kelas 2 SMA.

Ia berhasil tumbuh dengan rasa empati besar dalam hatinya yang lembut, ajaran dari sang ayah dan ibu telah berhasil membimbing Mahesa menjadi sosok yang akan selalu menjadi receh di setiap keadaan.

Mahesa benar-benar tumbuh dengan baik, bahkan sampai tidak ada satupun orang yang tau jika di balik recehnya ia, Mahesa justru menyimpan segalanya sendiri.

Ingin membagikannya pada orang lainpun rasanya amatlah sudah bagi diri Mahesa.

Terlebih lagi ia memiliki rasa takut terhadap orang yang mendengarkan ceritanya itu akan langsung menjauhi dan menyebarkan cerita pribadi Mahesa itu pada orang lain.

Anak itu tak lagi memiliki kepercayaan pada orang lain. Lantas apa yang perlu Mahesa lakukan lagi setelah ini?

Apakah Ruangan gelap nan dingin akan selalu setia menjadi temannya di tiap malam dengan dominasi suara ranting pohon cemara di belakang rumahnya yang bergerak di terpaksa angin malam.

Suara rintik hujan menyamarkan tiap jerih payahnya untuk menahan tangis namun malah tak tertahan, titik pertama kerapuhan dari sosok anak malang ittu.

Rintik yang terus jatuh dan terjun bebas menerpa tiap ember kaleng di halaman belakang tepat di bawah pohon cemara.

Kursi rapuh dan cambuk menjadi saksi bisu atas penderitaan, deraan, juga luka di tiap sisi tubuhnya. Tiada yang tahu menahu akan hal yang dialaminya.

Kursi rapuh itu senantiasa di kelilingi paku tajam yang menjadi penopang agar kursi tersebut tidak jatuh. Juga cambuk yang senantiasa bertengger pada kepala pintu dan tiada seorangpun yang berani hanya sekedar 'tuk memindahkannya.

Sedikit memori dalam ingatan tertancap oleh paku di dinding dengan suasana monokrom. Banyak hal istimewa telah lenyap.

Kepekatan warna merah padam menjadikan suasana menjadi seram namun juga memprihatinkan.

Cermin yang kian juga menjadi saksi atas kepedihan anak itu, tiap malam ia akan di jadikan teman bercerita, ingin membalas ucapannya, tapi Cermin hanyalah sebuah benda yang walaupun berusaha ia tidak dapat berbicara.

Permainan tangan dengan berbagai barang menjadikan sosok Mahesa seorang yang lemah lembut, kata-kata indah selalu keluar dengan damai dari syair yang dinyanyikan.

Sayang, bantal masih selalu ia Jadikan peredam suara atas isakan anak itu Tiap habis di pukuli. Kesedihan, kesengsaraan, rasa sakit dari anak bernama Mahesa akan dimulai dari sini.

Kisah Mahesa akan di mulai dengan awal yang tenang juga menyedihkan.

___________________💐___________________

Hai, Author kembali dengan keceriaan juga semangat baru yang mengembang bagai bunga matahari.

Kali ini sosok Mahesa akan menjadi penghibur kalian di bulan puasa dengan salah satu bumbu dapur.

Kalian tahu maksud Author?

Terus dukung cerita ini yaa. Tiga cerita lain bakalan menyusul nanti.

Tapi sebelum itu, apakah diantara kalian ada yang menjadi anak sulung?

Semangat bagi para sulung!

Semangat juga bagi anak tengah, maupun anak bungsu.

Jikalau ketikan Author memiliki banyak kesalahan kata atau malah memiliki alur yang tidak nyambung jangan heran lagi, karena di sini Author cuma manusia biasa yang yang memiliki kelebihan juga kekurangan.

Oh, one last message from the author for you. Kalau kalian ada masalah, cerita sama orang terdekat kalian. Jangan pernah memendam semuanya sendiri. Karena kalau permasalahan itu kalian pendem, lama lama juga akan jadi bukit kan, juga akan rubuh di saat tidak ada penopang lagi.

So, have fun with this temporary world. Don't worry about the words of people who say you are ugly, immoral and blah blah blah... You are beautiful, according to your kindness to other people.

Buat puasanya...

Semangat terus biar lancar.

Ga boleh bolong kecuali ada yang berhalangan untuk puasa.

Sekian dari Author

Thanks bagi yang udah mampir

Love you 💐

SulungTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang