Angin pelan menggoyang dedaunan di atas hutan, namun tak membawa kabut menghilang. Awan menggelayut dan lebatnya kanopi membuat suasana di jalur pendakian tak terasa seperti siang hari.
Ke empat orang tim Malam Jumat berjalan menuruni jalan setapak dalam diam. Tak ada satupun dari mereka yang berbicara. Wajah mereka pun nampak tegang dan muram.
Zilmi dan Santi berjalan di depan, sementara Irwan berjalan di belakang sambil membantu Damia yang kakinya terasa semakin nyeri.
"Pelan- pelan Mi," Irwan memegangi tangan Damia yang berusaha menuruni sebuah patahan tanah. "Jangan tahan pake kaki, pegangan di sana."
"..." Damia tak menjawab. Ia lebih berfokus untuk menapakkan kakinya perlahan.
"..."
Tiba- tiba saja Zilmi di depan mengeluarkan smartphone nya, lalu merekam keadaan mereka.
"Jadi guys, update saja-" ujar Zilmi ke arah kamera. "-satu teman kami yang bernama Fadil saat ini hilang, dan kami enggak tahu dia ada di mana. Saat ini kami sedang turun kembali ke Curahwangi untuk cari bantuan."
"KAMU NGAPAIN SIH!?" seru Santi penuh emosi. Ia sangat tak menyangka bahwa Zilmi masih sempat untuk merekam video di saat sepeti ini. "Nggak tepat sekali waktunya! Nggak etis. Kita tuh lagi-"
"Justru ini harus kita lakukan," potong Zilmi datar. Ia terus berjalan sambil merekam. "Kalau kita sudah minta bantuan, dan Fadil ketemu dengan selamat -semoga saja- maka kita bisa pakai video ini buat konten kita nanti. Bahwa ada kejadian seperti ini saat kita mengunjungi petilasan. Bahwa apa yang kita alami di sini tuh bukan settingan."
"..."
"Lalu kalau memang terjadi yang terburuk, kita bisa pakai video ini buat bukti bahwa kita enggak salah apa- apa. Bahwa kita sudah berusaha melakukan sebisanya untuk menemukan Fadil," Zilmi kembali menambahkan.
"Betul Santi," timpal Irwan yang berada di belakang. "Lebih baik kita rekam semuanya, untuk jaga- jaga."
Santi tak menjawab dan hanya mendengus.
Zilmi memimpin grup mereka untuk menuruni jalur pendakian kembali ke Curahwangi. Beberapa kali ia merekam situasi sambil menceritakan berbagai kejadian yang mereka alami sejak kemarin.
"Ssshhh.." Damia mendesis sambil memegangi kakinya yang nyeri.
"Kita berhenti dulu bisa?" Irwan mengusulkan. Ia nampak khawatir melihat wajah Damia yang kesakitan. "Kita udah jalan satu jam lebih."
Zilmi mengangguk sambil mencari sedikit landaian di jalur agar bisa menjadi titik mereka beristirahat. Lalu ia membawa tim Malam Jumat untuk berhenti di dekat sebuah semak, di bawah pohon besar dengan batang tumbang agar para perempuan bisa duduk.
Irwan membuka ranselnya lalu membagi makanan dan air kepada Damia dan Santi.
"Sudah hampir jam tiga," gumam Santi mengamati ke arah Barat. Seharusnya saat ini langit sudah nampak kekuningan. Namun karena kabut dan awan, semua nampak kelabu seharian. "Pos satu masih jauh? Sepertinya kemarin saat berangkat enggak selama ini kita jalan."
"Masih, ini belum ada separuh jalan kita ke pos satu," Zilmi duduk sambil menyulut rokok.
"Masa sih?" tanya Irwan sambil ikut menyulut rokok.
Damia yang sedang mengunyah roti, memandangi wajah teman- temannya yang kelelahan. Sejenak ia terdiam untuk berpikir.
"Gara- gara aku ya?" tanya Damia lirih.
"Ya? Kenapa?" Irwan mengisap rokoknya dalam.
"Kita belum ada separuh jalan ke pos satu, gara- gara aku kan?" Damia meletakkan rotinya di kedua paha sambil menunduk. Ia merasa tak enak hati kepada semua. "Gara- gara kakiku sakit, kita gak bisa jalan cepat."
"EH? NGGAK!" Santi segera duduk di sebelah Damia. Ia tersenyum sambil membelai lembut punggung sahabatnya. "Nggak ada yang mikir gitu, Mi."
"..."
Zilmi terdiam sambil menatap Damia, membenarkan ucapan gadis itu dalam hati. Memang satu alasan mereka bergerak lambat adalah karena kaki Damia yang tidak fit.
"Apa kita berpencar saja?" usul Zilmi.
"Maksudnya?" Irwan masih bersandar pada batang pohon.
"Kita bagi tim menjadi dua. Satu tim harus segera turun ke Curahwangi, dan minta bantuan secepatnya. Kita butuh bantuan untuk nyari Fadil, dan itu urgent," Zilmi menjelaskan rencanya kepada tim Malam Jumat.
"Lalu satunya bisa berjalan sedikit lebih pelan, tanoa harus ngerasa-"
"Nggak setuju!" Santi dengan cepat menolak usulan itu. "Di tempat kayak gini, kondisi begini, lebih baik kita jangan berpencar. Kita harus terus bareng."
"Tapi Zilmi ada benarnya San," Irwan mengangguk. "Kita harus sesegera mungkin cari bantuan untuk nyari Fadil. Itu gak bisa ditunda."
"Kita harus turun bareng. Titik!" Santi masih menolak usulan untuk berpencar.
"Kamu lihat Damia," Zilmi mendekati Santi, menunjuk ke arah Damia. "Dia udah pucet banget. Dia nggak bisa dipaksa jalan turun ke Curahwangi sekarang. Dia butuh istirahat."
Santi memandangi wajah Damia yang penuh keringat, dan sedikit pucat. Terlihat sekali bahwa selama berjam- jam mereka berjalan, ia tersiksa menahan sakit.
"Terus-" Santi merasa sedikit bersalah karena sudah egois. "-kita harus berpencar ini jadinya?"
"Aku rasa lebih baik begitu," Irwan mengangguk.
"Kamu dan Zilmi bisa secepatnya turun ke Curahwangi, sementara aku akan tetap di sini nemenin Damia. Kita juga akan ikut turun, tapi pelan- pelan."
"..."
Damia mengangguk tipis ke arah Santi, seolah meyakinkan Santi untuk mengikuti rencana itu.
Santi menggigiti bibirnya ragu. Ia merasa bahwa tak seharusnya tim ini berpisah di sini. Ia jauh lebih nyaman jika mereka semua berjalan turun bersama menuju Curahwangi.
Namun ia tak punya ide lain.
"Baiklah," Santi berdiri sambil membersihkan debu di celananya.
"Kita akan bagi jadi dua tim."
KAMU SEDANG MEMBACA
PETILASAN ALAS MEDI (COMPLETE)
HorrorStory #10 (Horor - Petualangan - Explicit violence and gore) Sekelompok pemuda hendak membuat video konten untuk channel mereka. Kali ini, mereka ingin membuktikan rumor tentang sebuah petilasan yang ada di jalur pendakian, tepatnya di wilayah Alas...