18. Lereng Raung, 17.16

419 50 1
                                    

"Pelan, pelan Mi," Irwan menunjuk ke arah sebuah batu besar di bawah Damia. "Itu pijak ke sana."

Damia menahan nafas saat meletakkan satu kakinya turun. Padahal ia memakai kayu yang dibuat Irwan untuk bantuan berjalan, namun masih sesakit ini rasanya.

Tapi Damia terus memaksakan diri. Ia harus terus berjalan bagaimanapun kondisinya.

Walau seadainya harus berjalan selambat keong pun, ia harus berhasil turun untuk meminta bantuan.

Ia harus membawa banyak orang desa untuk membantunya menemukan Fadil. Ini darurat. Fadil dalam bahaya -entah oleh apa- dan ia sendirian di luar sana.

Irwan mendongak melihat langit dari sela- sela pepohonan. Ufuk Barat sudah terlihat keunguan gelap, yang menandakan bahwa matahari hampir tenggelam.

Lalu Irwan merasakan sesuatu.

"Bentar- bentar," ujar Irwan cepat. Ia berjalan ke sisi lain jalur, di bawah sebuah pohon. Dengan santai ia membuka resleting dan bersiap melakukan sesuatu.

"MO NGAPAIN?" Damia melempar ranting kecil pada Irwan.

"Kencing."

"Jangan di sini dong!" Damia mendengus sebal. Kadang emang kabel di otak Irwan ada yang enggak nyambung. "Nggak malu apa, ada cewek di sini?"

"Aduh, males," keluh Irwan. "Kan udah hampir gelap ya, gak bakal kelihatan juga."

"Di hutan sana loh!" Damia menunjuk ke arah pepohonan lebat di samping jalur. "Agak masuk sana biar gak kelihatan."

"Tapi Mi-"

"Ini anak susah dibilangin ya?" Damia mengangkat kepalan tinju. "Ini kan jalur pendakian. Kasian pendaki lain dong."

Irwan berdecak sebal sambil menarik resletingnnya naik. Lalu ia berjalan melewati Damia yang sedang mendudukkan diri di tepian jalur.

"Kamu jangan ke mana- mana," Irwan berpesan, menunjuk sebuah lokasi rimbun beberapa puluh meter dari posisi mereka. "Aku cuman kencing bentar di belakang semak- semak itu."

"Iya udah buruan," Damia mendengus.

Tanpa membuang waktu, Irwan bergegas -setengah berlari- menuju tempat yang ia tunjuk lagi. Ia berdiri di balik semak rimbun yang tertutup batang pepohonan besar. Dari sini ia masih bisa melihat Damia untuk mengawasinya.

"Fuuuuuh.." Irwan tersenyum melepas panggilan alamnya.

Betapa lega rasanya bisa melepas beban yang sedari tadi ia tahan sambil berjalan.

-SREK!!

Irwan seketika menoleh ke arah belakang.

Tak ada apapun selain dedaunan bergoyang yang tertiup angin. Irwan terdiam, menatap sekelilingnya dengan tegang. Sambil menyelesaikan yang ia lakukan, Irwan menyipitkan mata.

Di dekatnya, agak tinggi di atas pepohonan, ia melihat dahan- dahan yang bergoyang. Seperti ada sesuatu yang lewat.

"Apa itu-"

Lalu mata Irwan terbelalak saat ia melihat sesuatu yang muncul dari balik rimbun dedaunan.

--------

"AAAAAAAAAHHHH!!!"

Damia yang terduduk menunggu di jalur pendakian seketika tersentak kaget. Seketika ia menoleh ke arah suara yang berasalh dari balik rimbun dedaunan di dekatnya.

Itu Irwan!!

Astaga! Ada apa!?

"WAN!?" Damia mendorong tubuhnya bangkit, namun kakinya yang nyeri tak bisa di ajak bekerja sama. "IRWAN!!"

Tak ada jawaban.

Ya Tuhan! Ada apa lagi ini?

Teriakan Irwan tadi sekilas mengingatkannya dengan teriakan Fadil dalam rekaman aneh itu. Apakah ada sesuatu yang terjadi dengan Irwan?

"IRWAAAN!!" pekik Damia penuh kecemasan. Kalau sampai ada apa- apa dengan Irwan, maka ia harus berjalan menyusuri areal hutan ini sendirian dong?

Kepanikan yang menyergap kepala Damia membuatnya bahkan sampai lupa membawa tongkat bantu berjalannya.

"Aduduh.." Damia memaksakan diri melangkah untuk menyusul Irwan di dalam sana. Dengan tertatih, cemas dan menahan sakit, Damia beranjak dari jalur pendakian.

Jantung nya berdebar kencang, matanya lekat menatap arah terakhir di mana ia tadi melihat Irwan.

"..."

"IRWA-"

Lalu dengan santainya Irwan keluar dari balik pepohonan sambil mengencangkan ikat pinggang. Ia menatap Damia kebingungan.

"Kamu ngapain?" tanya Irwan.

"Eh? Tadi kan-" Damia tergagap. "Tadi kamu-"

"Oh," Irwan terkekeh sambil menggaruk kepala. "Tadi ada musang lompat dari semak- semak. Siapa yang gak teriak coba lagi kencing di serang begituan?"

"..."

"Musang?"

"Iya, musang," Irwan mengangkat bahunya.

Damia memejamkan matanya sambil menghela nafas lega. Sialan! Jadi Irwan teriak sekeras itu dan membuatnya panik dan cemas cuma gara- gara musang?

Sialan!

Damia berjalan dengan tangan terulur, lalu duduk di sebuah batang pohon roboh.

"Kok malah duduk?" Irwan memiringkan kepalanya. "Ayo jalan lagi."

PETILASAN ALAS MEDI (COMPLETE)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang