Dalam kamus hidup seorang Javas, rasanya tidak ada sama sekali kata "bahagia" di umurnya yang ke tujuh belas tahun. Menurutnya wajar-wajar saja, lagipula di usia nya yang beranjak dewasa ini, tentunya masalah-masalah akan semakin bertambah.
Tidak hanya masalah, namun juga luka yang akan tiba di setiap harinya.
"Ah, malas banget jalanin nih hari. Tapi mau gimanapun itu, semua bakal bisa gua lewatin. Lagipula dengan atau tanpa adanya teman, dunia juga akan terus berputar" ucapnya di koridor sekolah.
Memilih untuk lebih banyak menundukkan kepala nya, dirinya merasa terganggu dengan tatapan-tatapan di sekitarnya yang kini tertuju kepada dirinya.
Dugh!
Tanpa sengaja bahunya menabrak bahu seseorang. Jika itu orang asing, maka ia akan meminta maaf, namun jika bukan... Malas sekali untuk meminta maaf.
Mengangkat kepalanya untuk melihat siapa pemilik bahu yang menabrak nya tadi, ternyata sosok yang sama.
Oh ayolah tuhan... Mengapa dirinya justru mendapat sial? Padahal dirinya keluar kelas hanya untuk mencari ketenangan.
"Pelan-pelan dong kalo jalan, jalan tuh pake mata! Bukan malah nunduk mulu! Sialan lo!" Hina orang tersebut yang kemudian pergi begitu saja dengan tatapan tidak suka nya.
Astaga, hal seperti itu saja sudah membuat nya marah? Pantas saja mukanya terlihat tua, ternyata karena terlalu banyak marah.
Javas sendiri hanya diam tanpa membalas, tidak ada gunanya juga meladeni anjing menggonggong. Ingat bukan, seorang majikan perlu ramah kepada hewan peliharaannya.
"Ah elah, gitu doang dijadiin masalah. Kaya lo sendiri gak pernah nabrak gua aja," sungut Javas sembari berlalu dari tempatnya berada.
Apa-apaan ini, mana ada sebuah kelas yang berkedok keluarga padahal justru adalah sebuah penjara. Ingin rasanya ia pindah, namun ia tahu sudah tinggal beberapa bulan lagi berada disini.
Ah, mengapa tiba-tiba kepalanya kembali mendengar suara-suara itu? Muak sekali rasanya ia mendengar semua obrolan-obrolan itu.
Mengambil earphone yang biasa ia bawa, kini dirinya mulai mengenakan earphone tersebut untuk mendengarkan musik dengan volume keras.
Dibanding harus mendengar suara berisik itu, lebih baik telinganya berisik karena adanya sebuah lagu yang ia pilih untuk di dengarkan.
Tuhan, mengapa suara-suara itu tetap terdengar di telinga nya? Padahal ia sudah menggunakan volume paling keras untuk menutupi telinga nya dari suara-suara yang tidak ia inginkan.
Baginya, lebih baik mengobrol dengan orang asing dibanding harus bertemu dengan teman-teman sekelasnya.
Katanya, tetaplah menjadi keluarga, tapi kenyataannya.. justru menjadi sebuah penjara. Ah, sudah berapa kali dirinya mengatakan hal ini? Rasanya sudah ribuan kali.
Javas jadi bertanya-tanya, mengapa bisa dirinya begitu kuat menghadapi segalanya. Padahal kemarin-kemarin, ia sudah hampir menyerah. Namun hingga kini, dirinya tetap berdiri untuk melawan masalah-masalah yang ada dihadapannya. Karena dirinya percaya, di depan sana, sudah pasti ada kebahagiaan yang akan menyapa nya.
Jujur, kepalanya berisik bukan karena pikiran nya yang terusik, melainkan suara-suara yang membuatnya ingin pergi ke tempat yang sepi.
Sepertinya, detik ini dirinya perlu melangkah kearah kelas temannya yang berada di kelas atas. Karena itu, menjadi tujuan terakhirnya untuk merasakan ketenangan. Jikapun memang tidak banyak yang dirinya kenal, tapi tetap saja dirinya merasa.. bahwa disanalah tempat adanya keluarga.
Begitu menyenangkan rasanya berkumpul bersama orang-orang asing ini.
Melihat situasi kelas yang sepertinya tidak ada guru di dalamnya, ia pun masuk begitu saja untuk menemui teman nya, Gavriel.
"Lah jav, ngapain kesini? Kelas lo gak ada gurunya?" Tanya Gavriel yang terlihat bingung dengan kedatangan Javas.
Tidak biasanya ia datang ke kelas nya tanpa ada nya sebuah kabar.
Javas terkekeh, menampilkan eyes smile miliknya pada sosok di hadapannya.
"Biasa lah bro, lo tau sendiri kelas gua gimana" balas nya dengan tatapan yang mengisyaratkan kekesalan.
Gavriel mengerti dengan makna dari sorot mata teman nya ini. Ia jadi berfikir, mengapa bisa seorang Javas sangat sabar dengan semua ini? Padahal jika dirinya yang mengalami hal tersebut, ia tidak yakin ia bisa kuat seperti Javas.
"Yaudah, disini aja dulu. Kalaupun engga, mending pindah aja kesini" ujar Gavriel yang terlihat menawarkan kelas nya.
Javas kembali terkekeh, mana bisa seperti itu, pikirnya. Jikapun memang bisa, sudah pasti ia melakukan hal tersebut dari kemarin-kemarin. Sedangkan ini, waktunya sudah sebentar lagi untuk berpisah.
Ah, rasanya ia begitu mendambakan perpisahan ini. Jika kemarin-kemarin ia merasa cukup berat untuk melepas perpisahan antar teman sekelasnya, kini dirinya justru sangat ingin secepatnya untuk berpisah dengan mereka. Karena selain merasa bebas, dirinya juga pasti merasa berhasil karena sudah kuat untuk melewati hari-hari nya.
"Sebenarnya, baik itu topeng seorang munafik atau bagaimana? Mengapa rata-rata diantara mereka yang bersikap baik, justru menjadi munafik pada waktunya?" Batin Javas kembali.
Rasanya sama saja, mau itu di kelas nya sendiri ataupun kelas teman nya, dirinya akan tetap melamun dengan banyaknya berbagai isi pikiran.
Dirinya sendiri tau, semua orang pasti akan menjadi munafik pada waktu nya. Namun mengapa tidak bisa di duga-duga? Lantas apa gunanya kebersamaan?
Ck, lupakan. Ia tidak peduli lagi dengan kehilangan. Biarlah dengan mereka yang ingin datang dan pergi dari hidupnya, ia bahkan tidak akan memperdulikan hal itu lagi. Terserah mereka mau bagaimana, dirinya lelah jika harus menuruti ego setiap orang yang berada disekitarnya. Karena tentunya, ia juga memiliki hak untuk hal-hal semacam ini. Tidak mungkin jika dirinya terus menerus diinjak seolah tidak memiliki harga diri.
"Jav, jangan kebanyakan bengong" ujar Gavriel menyadarkan Javas dari lamunan nya.
Javas yang tersadar pun seolah tidak mengerti dengan apa yang diucapkan Gavriel.
"Apa gimana? Ngomong apa barusan?" Tanya Javas terlihat kebingungan.
Gavriel menggeleng dibuatnya, "jangan banyak bengong, Jav" ulang nya kemudian.
Javas yang mengerti pun hanya menganggukkan kepalanya, "ah iya.. maaf-maaf, banyak pikiran tadi"
Kembali menggeleng, Gavriel berucap, "makanya cerita, kan disini masih ada gua"
Ucapan Gavriel tidak mendapat respon apa-apa, tatapan Javas terlihat kosong dihadapannya. Ah, pasti banyak pikiran lagi.
Memilih untuk mengelus bahu kekar temannya, dirinya berharap Javas akan terbuka pada dirinya.
"Okay, gua ceritain. Jadi sebenarnya, gua seharian ini kesel banget," ujar Javas kemudian.
"Kesel kenapa?" Tanya Gavriel kemudian, ia yakin ada yang mengusik ketenangan Javas.
Menggeleng sekilas, raut wajah Javas terlihat begitu kesal.
"Barusan di koridor gua..."
. . . .
Halo readers kesayangan! Apakah kalian merasa puas?? Aku harap iyaa! Semoga kalian suka yaa! Bantu vote dan komen dongg, hihi.. terimakasih jika sudah memberikan!
KAMU SEDANG MEMBACA
Vincere tecendo
FanfictionHidup di zaman sekarang bukan lagi tentang bagaimana bisa berjuang, namun bagaimana cara untuk bisa bertahan. Bertahan dari macam nya alur yang sulit ditebak, bahkan dari alur hidup yang tidak kita inginkan. "gini banget jadi nasib dijadiin pelaku"...