05. FEELING OF SILENCE

22 4 65
                                    

Hari-harinya semakin terasa sepi, akhir-akhir ini saja tidak ada lagi seseorang yang mengganggu ketenangan nya. Meski hal itu terlihat baik dan menenangkan baginya. Namun rasanya seolah ada yang beda.

Apakah mungkin mereka sudah mulai lelah karena dirinya yang semakin hari semakin tidak peduli dengan cibiran-cibiran itu? Ah payah, begitu saja sudah lelah.

Bukankah seharusnya melanjutkan? Padahal dirinya sudah banyak menyiapkan diri. Rasanya sia-sia jika sudah seperti ini.

Tapi setidaknya, hari-harinya kembali terasa menenangkan. Walau demikian, dirinya tetap memilih untuk berteman dengan kesendirian. Karena itu, sudah pasti lebih menenangkan.

Beberapa hari ini, di kelas nya hanya sekedar sibuk dengan urusan masing-masing ataupun sibuk dengan handphone nya. Lagipula apalagi yang akan mereka lakukan selain hal-hal itu? Sangat membosankan, namun tidak ada pilihan lain lagi.

Akan tetapi tetap saja, jika ditanya dimana iblis berada, mungkin ia akan menjawab kelas nya sendiri. Karena disana, sudah banyak jenis dan macam-macam iblis yang ia temui di setiap harinya.

Bukannya jahat atau bagaimana, mereka saja bisa melakukan bullying padanya. Lantas mengapa tidak ia menjelaskan bagaimana buruknya mereka?

Jikapun ditanya mengapa ia tidak membalas dengan pukulan atau semacamnya, ia hanya tidak mau iblis menguasai dirinya. Jika iblis sudah menguasai dirinya, lantas apa bedanya ia dengan mereka?

Ah sudahlah, malas sekali rasanya untuk mengungkapkan tentang bagaimana mereka. Bahkan setiap kata yang tercipta, rasanya belum cukup untuk menggambarkan bagaimana dengan mereka.

Biasanya, jika satu hari terlihat baik-baik saja, maka keesokan nya akan ada yang lebih parah. Entahlah hal itu benar atau tidaknya, ia hanya memasrahkan semua itu pada yang diatas.

Kembali duduk ke tempat duduknya dengan tenang, ia berharap tidak ada hal buruk yang terjadi pada hari ini.

Namun disela ketenangan yang kini tengah ia nikmati, tiba-tiba saja sosok itu—Revan, kembali mendatangi nya. Ia sudah mewanti-wanti, rasanya akan terjadi hal buruk setelah ini.

Ternyata dugaan nya salah, ia justru mendapat sisi lain dari seorang Revan.

"Jav, bukannya gimana.. kayanya gua udah keterlaluan ya perihal kemarin?"

Tunggu, ini seperti bukan sosok Revan yang ia kenal. Tapi apa mungkin, seorang Revan berubah begitu saja? Atau mungkin dirinya sudah tobat?

Jika benar begitu, maka Javas akan sangat bersyukur.

"Oh iya, sebagai permintaan maaf gua, nanti malam datang ke rumah gua ya? Ada makan malam bersama bareng anak-anak lainnya, bisa kan?"

Tawaran itu terdengar menggiurkan, terlebih jarang rasanya seseorang menawarkan hal tersebut pada dirinya. Memilih untuk menganggukkan kepala, ia pun menerima tawaran tersebut.

Ah, pagi ini dirinya sudah mendapat kabar baik, bagaimana dengan nanti malam? Tidak sabar sekali rasanya.

Dan ini, akan menjadi sejarah baginya, karena untuk pertama kalinya ia ditawarkan hal semacam ini oleh seorang Revan.

Akan kah malam ini menjadi malam terindah nya? Ah, semoga saja seperti itu. Membayangkan nya saja sudah sangat indah, bagaimana dengan merasakannya? Pasti sangat menyenangkan.

.   .   .   .

Jam sudah menunjukkan pukul tujuh malam, dan Javas sudah siap dengan penampilan nya. Terlihat sederhana namun tetap terlihat berkelas.

Merapihkan kerah bajunya, ia merasa sudah cukup baik untuk penampilan nya. Kini, dirinya mengambil alih kunci motornya yang berada di lemari kecil dekat pintu kamarnya.

Vincere tecendo Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang