6. Arya, Brengsek!

100 9 0
                                    

"Wala!" panggil Mahesa menggertakkan gigi.

Pria paruh baya itu tidak tahu apa yang ada di kepala putranya. Jalanan di sana lebar dan bagaimana bisa Cakrawala menabrak bahu Arya cukup keras? Jika tidak disengaja, sang putra harusnya langsung meminta maaf. Akan tetapi, Cakrawala langsung pergi tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Terlihat sekali bahwa apa yang terjadi memang disengaja, tetapi kenapa? Bukankah tidak ada yang salah dalam pembicaraan mereka?

"Sudah, Pa, mungkin Wala memang nggak sengaja," kata Wulan menenangkan.

Akhirnya wanita itu tahu maksud dari ucapan putra tirinya semalam. Lepas kendali yang dia dengan mungkin seperti yang dilakukan saat ini. Menyenggol bahu Arya secara terang-terangan tanpa merasa takut sedikit pun.

"Maafkan Wala, Arya. Mungkin dia memang tidak sengaja atau memang ada yang salah dengan kepalanya," ujar Mahesa dengan perasaan kesal.

"Tidak masalah, Om." Arya kembali menatap jam tangannya. "Ngomong-ngomong, apa masih ada yang ingin Tante Wulan katakan?"

"Tidak ada. Tante cuma mau minta tolong itu saja," sahut Wulan mengulas senyum.

Di sampingnya, Senja meremas ujung baju berusaha melampiaskan kekesalan. Namun, Wulan sama sekali tidak peduli karena sudah bertekad untuk menjauhkan Cakrawala dari putrinya. Jangan sampai ada hubungan asmara di antara kedua anaknya meski statusnya hanya saudara tiri.

"Baiklah. Nanti jangan lupa kirim CV ke saya agar bisa langsung diserahkan ke kakak saya."

"Pasti. Terima kasih banyak yah, Arya," sanggah Wulan bersemangat.

"Kalau begitu, saya permisi, Om, Tante."

Arya mengulurkan tangan menyalami Mahesa dan Wulan. Tidak lupa pula dengan menyalami Senja. Setelah itu, dia masuk mobil dan pergi.

"Astaga! Wala ini benar-benar. Sebenarnya dia kenapa, sih?" Mahesa melangkah cepat meninggalkan Wulan dan Senja menuju mobil putranya.

Detik itu juga, Mahesa harus meminta penjelasan dari Cakrawala. Apa yang terjadi beberapa saat yang lalu tidak bisa dibiarkan begitu saja. Andai Arya orang biasa dan tidak terlibat kerjasama dengan nilai milyaran, mungkin hanya dengan meminta maaf sudah cukup.

"Buka, Wala, buka!" Mahesa menggedor jendela mobil karena dikunci dari dalam.

"Apaan, sih, Pa?" keluh Cakrawala setelah membuka pintu.

"Kamu yang apa-apaan?! Maksud kamu apa nabrak-nabrak bahu Arya?!" tanya Mahesa geram.

Bukannya merasa bersalah atas apa yang telah dilakukan, Cakrawala justru bersikap seolah tidak terjadi apa-apa. Kali ini, Mahesa benar-benar tidak bisa memahami putranya.

"Wala nggak sengaja, Pa," sahut Cakrawala beralasan.

"Terus, kenapa nggak minta maaf?" tanya Mahesa tidak habis pikir.

"Perut Wala sakit banget, Pa, makanya tadi buru-buru masuk mobil." Cakrawala menyentuh perut dan berpura-pura kesakitan.

Tidak ada alasan lain yang terpikir di kepala Cakrawala. Namun, dia yakin hanya dengan mengatakan perutnya sakit sang ayah akan langsung percaya. Tidak mungkin akan meragukan ucapannya, sedangkan sejak dulu dia tidak pernah berbohong.

"Perut Abang sakit? tanya Senja berpura-pura terkejut.

Sejak pertama kali sang ibu membahas perihal pekerjaan dengan Arya, Senja sudah bisa menebak apa yang akan terjadi selanjutnya. Jadi, dia ingin memanfaatkan perbuatan menyebalkan Cakrawala.

"Ayo kita ke rumah sakit, Pa, Ma. Kita naik mobil Abang aja biar nanti mobil Papa, Mang Simin yang urus."

Jika mereka berempat berada dalam satu mobil, otomatis Cakrawala tidak akan berani berbuat macam-macam. Senja juga tidak perlu berduaan dengan kakak tirinya hingga membuat sesak.

Sepotong Asa Untuk SENJATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang