1. Bersama Hujan, Bersama Mu

8 2 0
                                    

Matahari sudah menutup matanya, langit menjadi gelap. Awan-awan hitam mulai berkumpul seolah ingin menguasai bumi. Menyebalkan. Pasalnya dia pasti akan menangis. Air matanya yang berjatuhan membuat beberapa warga bumi menjadi kesulitan. Contohnya, perempuan berambut ikal yang baru saja keluar dari gedung tinggi itu.

Bibirnya yang sudah tak merona, dengan raut wajah yang kusut itu seolah menjadi topping lengkap untuk menemani awan yang menangis. Perempuan itu menghela napasnya kasar, dan segera mengeluarkan payung merahnya dari tas tak bermerk nya itu.

Hujan lagi, hujan lagi. Kayaknya kalaau punya mobil enak, ya. Pulang kerja nggak keujanan, nggak kedinginan. Nggak akan basah kuyup kayak gini.

"Natnat!!" Seseorang berteriak padanya.
"Mau bareng enggak? Ayo! Aku bawa jas hujan." Tawar lelaki bernama Aryo—teman kerjanya di PT. Garuda Inovasi, tetapi beda divisi. Kalau Nacita berada di divisi keuangan, sedangkan Aryo divisi media sosial.

"Yo?!! Yaudah ayo deh, aku ikut sampai depan aja ya!" Jawab Nacita dengan cepat, sebelum Aryo berubah pikiran.

"Nih, pake helm nya!" Aryo sedikit berteriak. Suara hujan seolah meredupkan pendengaran masing-masing.

"NAT! Ini helm nya pake!!"

"IH SABAR DONG. AKU LAGI TUTUP PAYUNGNYA DULU KAMU GAK LIAT?!"

"Iya pokoknya cepet, ya!"

"Iya sabarrr. Ini juga kenapa tumbenan banget macet payungnya!" Nacita mendumel, karena payung merahnya itu mulai tidak bersahabat lagi.

Setelah beberapa waktu, keduanya kini sudah berada di dalam angkutan motor Aryo. Angin yang cukup menggelegar menghantam wajah Nacita yang tak tertutupi oleh kaca. Alias helm Aryo ini hanya sepotong. Helm tanpa kaca itu lho. Poni nya yang keriting semakin lepet menempel pada dahinya yang sempit. Sesekali Nacita membetulkan rambutnya karena terus saja mencolok kedua matanya.

"YO!!" Nacita berteriak memanggil Aryo.

"APA NAT?"

"KOK MACET YA?!!"

"HAH? MENCRET?! KAMU MODOL NAT?"

"IH MACET YOO, MACET. KENAPA MACET? ADA APA DI DEPAN?"

"OOOHH. GAK TAU AKU NAT. MUNGKIN BANJIR?"

Tidak ada jawaban dari Nacita.

"EMANGNYA KENAPA NAT? KAMU GAK KUAT MAU MODOL?"

"Nggak ada yang mau modol, Aryo, Ih!!"

"IYA ITU DI DEPAN KITA MAMPIR DULY KE POM BENSIN YA. SABAR. TAHAN DULU MODOLNYA SEBENTAR DOANG, YA, PLEASE!" Aryo berteriak. Membuat beberapa orang tertarik untuk memperhatikan keduanya.

Bayangkan saja di tengah kemacetan, keduanya saling berteriak. Mungkin hujan akan sedikit membungkam suara keduanya. Tapi tetap saja, orang yang ada di samping pasti akan menengok, memperhatikan. Dalam benaknya mungkin, itu anak bangkotan berdua pada congean kali ya? Nggak bisa apa ya ngobrol dengan lembut?

Nacita terus saja memperhatikan jam yang melingkar di tangannya. Sudah hampir jam 20.00 orang rumah seharusnya khawatir saat ini. Apalagi Nacita ini adalah anak perempuan satu-satunya di dalam keluarga.

"Yo, aku turun di sini aja deh. Makasih ya atas tumpangannya." Nacita memutuskan untuk berjalan kaki saja. Dalam benaknya. melewati jalan rahasia akan lebih cepat dibandingkn harus mengikuti untaian panjang ini.

Nacita melepaskan helm milik Aryo itu, "Sekali lagi, makasih ya, Yo."

"Kamu beneran berani pulang sendiri, Nat?" Tanya Aryo khawatir.

This is What Fallin' in Love Feels LikeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang