7. Aksi Pertama

394 79 4
                                    

"Cewek tadi siapa, Sab?"

"Bentar, gue gak siwer kan? Dia jurnalis yang itu bukan sih? Lo kenal dia, Bang? Lo diinterview sama dia, ya?"

Di perjalanan menuju kaki Gunung Parakasak, dua celetukan yang berbeda itu Sabda dapatkan. Hujan rintik-rintik sesekali membuat pandangan Sabda buyar. Kali ini, giliran dia yang kebagian tugas menyetir kendaraan. Ruas jalan kabupaten ini sempit, hanya cukup untuk dilewati dua kendaraan roda empat dari arah berlawanan. Kalau lengah sedikit, kiri kanannya adalah jurang. Suasana hati Sabda sedang kurang bersahabat gara-gara pertemuannya dengan Linggar tadi siang. Dan jika berniat, Sabda bisa saja melempar Agus serta Jacob ke sana sampai mereka berguling-guling ke sungai.

"Kamu ada rencana yang gak kita tau, Sab?" Berbeda jika Abidin yang bertanya. Sabda tidak bisa bersikap buruk kepada beliau karena dirinya masih tahu akan yang namanya tatakrama.

Padahal truk pengangkut ayam dari arah depan tidak membuat kagok jalannya, namun Sabda menekan klakson kencang-kencang untuk sekedar melampiaskan rasa kesalnya. "Gak ada, Pak, justru dia adalah kebetulan yang tidak saya harapkan," jawabnya.

Di sebelahnya, Ater berpegangan kuat-kuat pada handle di sisi kiri atas. Mampus, perutnya sudah mual. Jangan sampai dia mabuk perjalanan gara-gara gaya nyetir Sabda yang ugal-ugalan.

"Linggar Parahita, kan?" ujar Agus. "Bener! Namanya Linggar Parahita. Wih, jurnalis kondang tuh. Dulu pas gue masih kuliah, gue sering banget ikut diskusi terbuka kampus sebelah soalnya narasumbernya dia mulu, hahaha!"

"Mantan– ekhem, mantan pacar gue." Entah kenapa, tenggorokan Sabda rasanya kering sekali sampai dia harus membatukkannya agar sedikit lega.

"Anjing, gue sampe sadar total ini, padahal udah mual banget, bangsat!" Semua orang terkejut saat dua umpatan itu berada dalam satu susunan kalimat yang sama. Parahnya lagi, ini adalah kali pertama mereka mendengar Ater memaki secara gamblang.

Sebuah toyoran yang mulus Sabda dapatkan dari belakang. Asalnya jelas dari Jacob. Masalahnya, Agus, Ater, atau Pak Abidin tidak ada yang berani berbuat selancang itu terhadap Sabda. "Yang bener ajeee," hardiknya. "Ngayal emang gratis, tapi jangan berlebihan juga kali. Lo pikir kita percaya?"

"Ya terserah sih, nggak ada yang nyuruh kalian buat percaya juga. Gue kan cuma menjawab pertanyaan." Respon dingin Sabda semakin menggoyahkan penyangkalan yang mereka miliki. Jurnalis kahot itu ... sungguh mantan kekasih Sabda?

"Faaaakkk!" Agus membuka kaca di sampingnya cuma untuk memaki pada gerimis di luar. Lewat kaca tengah, Sabda melihat Abidin menggeleng pelan. Entah ditujukan kepada siapa; apakah pada kehiperbolisan Agus, atau nasib mirisnya yang bisa pegat dengan jurnalis tenar itu.

"Berarti selama gue kuliah, gue mengagumi cewek orang. Paling fak-nya lagi, sekarang kita temenan. Fak, fak, fak!" Harusnya fuck, tapi ya sudahlah, kita ikuti saja pelafalan yang lidah Agus inginkan.

"Tapi nggak heran juga sih," Jack bersandar lemas pada jok yang dia duduki. "Lo di umur 20-an emang mentereng banget. Kalau aja nggak dijebak, pasti sekarang lo udah jadi komandan satuan di Densus 88. Pas sama Linggar." Alternatif yang cantik. Variabel itu bisa saja Sabda dapatkan seandainya dia tidak nekat ingin membongkar kebobrokan.

"Siapa yang mutusin?" Abidin bersuara juga. Dalam hati, dia menyayangkan. Akhirnya setelah bertahun-tahun Sabda menyembunyikan identitas perempuan yang sering diceritakannya, Abidin bisa mengetahuinya juga. Pantas Sabda sampai rela dihukum senior di Polda, ternyata Linggar Parahita lah sebab-musababnya.

Sabda tidak langsung menjawab. Sejujurnya, ia kebingungan sendiri dalam merangkai kata yang kini berserakan di kepalanya. "Gak pernah ada kata putus sih, Pak. Tapi kan ... yah, anggaplah kita putus semenjak saya ditangkap."

NEGERI ANGKARATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang