1. Kereta

606 75 8
                                    

.
.
.
.

"MAHEN AYO SARAPAN DULU!"

Yang dipanggil Mahen tapi yang sampai dimeja makan duluan malah Daniel.

"Mas tadi adeknya udah bangun beneran kan?" Mamanya bertanya memastikan.

Daniel yang baru saja selesai meneguk susunya, mengangguk singkat, "Udah aku bangunin Ma, mungkin lagi siap-siap."

Lalu yang dibicarakan pun tiba, Mahen emang udah siap, tapi muka bantalnya dan mata yang masih sayu menggambarkan segalanya. Pas sampai dimeja makan, ia malah menelungkup kan kepalanya, kayaknya mau tidur lagi.

"Mahen jangan tidur lagi, sarapan dulu nanti kalian ketinggalan kereta,"

"Ngantuk Ma ..."

"Dek ayo rotinya dimakan dulu," Daniel berkata lirih, tangannya juga bergerak mengusap puncak kepala adiknya dengan lembut.

Bukannya bangun, malah terdengar dengkuran halus. Bocah itu ketiduran.

"Ma susu sama rotinya Mahen dibekalin aja, nanti Daniel suruh makan pas dikereta."

Mama yang baru selesai menyiapkan bekal makan siang untuk mereka berdecak kesal. Sudah hukum alam, Bungsu mereka emang susah diatur.

Sampai di stasiun kereta, mama mengusap rambut kedua putra kembarnya.

"Adeknya dijagain ya Mas,"

"Lalu aku?"

"Iya Ma."

Lalu sebelum naik kereta, dua anak kembar itu memeluk mamanya.

Baiklah, perkenalkan mereka dua anak kembar yang bahkan sepertinya kesamaan diantara mereka hampir tidak ada.

Mulai dari wajah, sifat, dan banyak hal lagi, benar-benar definisi kembar tak seiras.

Daniel yang lahir pertama kali, otomatis dia menjadi kakak. Ia menjadi definisi anak yang selalu diidam idamkan semua orang tua. Penurut, pintar, ia sebenarnya juga pendiam, tambahkan 'jika ia merasa asing pada sekitarnya'.

Mahen lahir beberapa menit setelah Daniel, Yap benar si Bungsu. Seperti kebanyakan bungsu, dia ini kayak bokem yang kebanyakan tingkah, anak itu sebenarnya pinter kalau nggak males belajar. Bocah ini juga enggak suka dimanja siapapun, maunya cuma manja sama masnya.

"Dek jangan tidur, ini roti kamu dimakan dulu." Daniel mencoba menggeser kepala adiknya yang dari naik kereta dan duduk langsung menyenderkan kepala dibahunya, ngapain lagi kalau bukan tidur?

"Ngantukk masss ..."

"Iya nanti tidur lagi, tapi sarapan dulu ya?"

Mahen yang capek karena kepalanya terus terusan digeser pun dengan malas mengucek matanya berusaha mengumpulkan kesadaran.

"Suapin."

Daniel pun daripada mendebat adiknya, memilih menurutinya.

"Mas?"

"Rotinya ditelan dulu," Mahen mengangguk dan segera menyelesaikan kunyahannya, ia nggak sabar mau tanya sesuatu.

"Mas, kamu disuruh papa kan buat kuliah di jurusan ekonomi? Terus diminta mama juga kan buat satu kampus sama aku?"

Bukannya jawab, Daniel malah menyodorkan sebotol susu pada adiknya.

"Masss ngaku aja,"

"Susu kamu diminum dulu," Mahen berdecak kesal, namun tetap menuruti perintah masnya.

Dengan tersenyum tipis Daniel menjawab, "Iya mas disuruh papa,"

"Tapi dulu mas kan pengennya jadi guru, ya ambilnya pendidikan dong,"

"Iya nggak papa, mas juga suka ekonomi kok,"

"Kalau mas nggak suka sama sesuatu diungkapin aja mas, jangan disimpan," Mahen aslinya kesal sendiri sama masnya yang selalu nurut sama papa. Ya nggak papa nurut, tapi dari dulu mas nya selalu pendam sendiri kemauannya.


"Dan satu kampus sama aku beneran disuruh mama kan?"

Mendengar itu Daniel menggeleng tegas, "Enggak, kalau itu emang maunya mas. Malah mas sendiri yang minta sama papa bakalan kuliah di jurusan ekonomi asalkan satu kampus sama kamu."

Mahen menatap lekat mata masnya itu, mencoba mencari kebenaran.

"Ini tinggal satu lagi rotinya,"

Mahen mengambil alih roti tersebut, dan ganti menyuapkannya pada Daniel. "Buat mas aja."

Mereka berdua sengaja membooking tiga kursi dikereta sekaligus. Lalu Mahen memposisikan dirinya untuk tidur, dengan kepalanya ia letakkan di pangkuan masnya.

Tangan Daniel langsung bergerak mengusap rambut adiknya itu agar segera tidur, tapi bocah itu masih saja menatapnya.

"Kamu sendiri kenapa tiba-tiba maunya kuliah diluar kota?" Daniel mencoba membuka obrolan.

"Biar nggak secara langsung gendong harapan orang tua,"

"Dek—"

"Mass, aku udah capek harus selalu jadi pembanding kamu, mas juga capek kan harus selalu taat perintah papa mama?"

Tak mau terus-terusan membahas hal tersebut, Daniel bertanya hal lain.



"Kamu kenapa pilih jurusan psikologi?"




Lama tak terdengar jawaban dari Mahen karena ia tiba-tiba memejamkan mata. Daniel pikir adiknya itu sudah tidur, Tapi—

"Mahen pingin bisa baca pikiran mas, biar kita bisa bareng-bareng perjuangin apa yang kita mau."






------

Ini sebenernya aku mau bikin au, tapi ternyata aku ga terlalu berbakat wkwk.

Gimana first impression kalian baca ini? Ceritain dong

Kalau aku lama ga update, teror aja di DM ya wkwk.

A Family?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang