3. Rumah?

443 56 8
                                    

"Tawanya hanya sandiwara belaka."

-satria

.
.
.
.



"Tadi gue nitip kumpulin laprak, udah aman kan?"

"Aman sat!"


Cowok bernama Satria itu mengangguk singkat, walau orang diseberang telepon nggak mungkin melihatnya.


Namun jantungnya tiba-tiba kaya mau copot waktu terdengar teriakan dan umpatan dari dalam rumahnya.

Dia pun bergegas menutup sambungan teleponnya, "oke thanks ya!"

Satria yang baru sampai dihalaman rumahnya menghela napas panjang.

"Mereka kapan berhenti untuk bertengkar?"



Ketika Satria membuka pintu dan masuk, keadaan didalam langsung hening dan—





"OHH INI ANAK NGGAK TAHU DIRI ITU?!"

"MASIH INGET RUMAH KAMU?!"



Yang diteriaki sedemikian rupa hanya menetap papanya datar.

"Berisik."

"SATRIA!"

"Apa ma? Satria kenapa lagi hm?" Satria beralih dan berjalan mendekat ke mamanya.



"Dasar anak kurang ajar!" Bersamaan dengan itu sebuah tamparan keras melayang ke pipi cowok malang itu.



Satria yang sudah sering ditampar seakan nggak merasakan nyeri lagi, ia menatap tajam.


"IYA SATRIA KURANG AJAR! KARENA EMANG GA ADA YANG PERNAH KALIAN AJARIN! YANG ADA ADU BACOT TIAP HARI!"

"SATRIA!"

"Apa Pa? Mau ikutan nampar aku juga? Sini!"

Satria beralih menantang papanya, suaranya menjadi serak karena menahan tangis dan emosi yang memuncak.

"Kalian kalau mau pisah, pisah aja sekarang! Ga ada yang perlu dipertahanin lagi, kakek juga udah ngga ada, kalian bisa ambil warisan bagian kalian dan pergi sama selingkuhan kalian masing-masing."

Setelah mengungkapkan isi hatinya selama satu tahun ini, dan mungkin itu kalimat terpanjang yang pernah ia ucapkan pada orang tuanya, satria melangkah pergi menuju kamarnya di lantai dua.

Tapi dia tiba-tiba berhenti dan tanpa menoleh, ia berucap. "Anggap aja Satria udah nggak ada, dan udah mati seketika sejak satria dilahirkan."


Sakit?

Sakit sekali.

Siapa anak yang mau dianggap tidak ada oleh orang tuanya?





Sampai dikamar, satria membanting pintunya dengan keras dan menguncinya. Lalu tubuhnya luruh seketika.

Ia menyembunyikan wajahnya dilipatan tangan, menangis terisak-isak.


Biasanya dia tidak selemah ini.

Biasanya dia kuat.

Tapi sampai kapan?

Sampai orang tuanya menyayanginya?



Haha itu tidak mungkin.

Dan nyatanya Satria hanya manusia lemah.

Tawanya hanya sandiwara belaka.







Selama ini keluarga kecil mereka tinggal bersama kakeknya Satria. Tidak ada yang mempermasalahkan karena itu memang permintaan kakek, dan juga karena ayah Satria adalah anak tunggal.



Selama hampir dua puluh tahun hidup, satria sudah terbiasa dengan keacuhan orang tuanya padanya.

Ketika mulai remaja ia mulai paham, kenapa dirinya se-tak diinginkan ini.


Orang tuanya menikah karena perjodohan kakek, dan diantara mereka tidak ada yang mau mencoba untuk menerima keadaan dengan sempurna dan mulai mencintai satu sama lain.

Hanya ketika ada kakek mereka seakan menyayangi putra mereka, sisanya mereka bertiga seperti halnya orang asing, bukan keluarga.

Kakek sudah tahu akan hal itu dan sudah seringkali menegur dan mengancam, tapi pada dasarnya mereka sama-sama kepala batu dan tidak mau memendam ego masing-masing.

Jadi hal terbaik yang bisa kakek lakukan hanyalah memberikan kasih sayang terbaiknya pada cucu tunggalnya itu. Walau hal tersebut belum tentu setara dan sesuai dengan yang Satria butuhkan.

Dari kecil satria juga sudah berusaha untuk mendapatkan kasih sayang orang tuanya dengan segala prestasi yang ia berikan, namun ia masih terus saja diabaikan.



Ketika beranjak remaja dan kakeknya sering sakit dan harus dibawa ke rumah sakit, dirinya tidak cukup menangis karena keadaan kakeknya, Satria juga harus menahan tangisnya mendengar orang tuanya yang mulai sering bertengkar setiap hari.




Dan dirinya yang sedang kacau juga harus menjadi objek kemarahan orang tuanya yang tiba-tiba mempermasalahkan tentang nilainya yang tidak sempurna dan catatan-catatan skors dari sekolahnya.



Dan puncaknya ketika tahun lalu di beberapa hari sebelum wisuda SMA nya, kakek dinyatakan meninggal.



Satria jelas hancur sehancur hancurnya, satu-satunya orang yang menyayanginya dan menganggapnya ada telah pergi meninggalkannya.


Ditambah lagi orang tuanya yang menjadi-jadi, ia sampai harus memutuskan untuk keluar dari rumah dan memilih tinggal di kost dekat kampusnya.







"Kakek ..."

"Satria mau ikut kakek aja ..."

"Kakek juga pernah bilang nggak akan ninggalin satria kan?"

"Tapi apa?"




Satria terus menceracau dengan suara seraknya dan masih terisak.



Selama ini Satria juga diam-diam menangisi dirinya yang harus hadir dikeluarga yang tidak mengharapkannya.


Satria dengan wajah yang sudah sayu, menatap benda berkilau di meja belajarnya.



Lalu mengambil benda tajam itu, dan tanpa pikir panjang mulai menggores pergelangan tangannya ....














------



End.
















































































Ah ya enggak lah


Eh atau beneran mau ending sampai sini aja?








Udah lah gatau lagi, aku ikutan nangis.

A Family?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang