.
.
.
.
.Daniel merasa kepalanya berat sekali dan pusing, ia mengerjabkan matanya menyesuaikan cahaya yang menusuk penglihatan.
Serbuan warna putih disekitarnya langsung membuatnya sadar bahwa dia berada di sebuah rumah sakit? Atau klinik entahlah dia juga tidak tahu.
"Daniel, kepala Lo masih sakit banget?"
Satria yang melihat Daniel sudah sadar langsung menghampiri dan membantunya untuk duduk.
Daniel memegang kepalanya yang dibagian dahinya terdapat perban kecil, "Lumayan sakit Bang," jawabnya sedikit meringis kesakitan.
Satria menghembuskan nafas lega, bersyukur setidaknya laki-laki didepannya saat ini tidak terluka parah.
"BANG!"
Satria terlonjak kaget, ya siapa yang nggak kaget denger orang tiba-tiba teriak.
"Mahen tadi sakit Bang!" Daniel jadi panik waktu ingat terakhir kali berbicara dengan adiknya, yang dalam keadaan tidak baik-baik saja.
Satria mencegah Daniel yang berusaha mencopot paksa infus di tangannya, "Tunggu bentar Dan, infus kamu sebentar lagi juga habis."
Daniel menggeleng gusar, ia tidak bisa mengabaikan Mahen begitu saja.
"Daniel, tenang dulu. Mahen udah diurus sama Bang Bima. Tadi gue juga udah anterin buburnya ke kos setelah bawa kamu kesini." Kalimat penenang itu tak cukup membuat Daniel bisa bernafas lega.
Pikirannya tetap cemas, bagaimana kalau keadaan adiknya makin parah? Ia tetap menggeleng kalut, Satria jadi bingung sendiri, dimana Daniel yang kemarin dikenalnya sebagai orang yang tenang?
Jika menyangkut tentang adiknya sepertinya pemuda itu menjadi over protektif.
"Oke bentar, gue chat Bang Bima bentar." Akhirnya Daniel mengangguk, menunggu kabar dari orang kosan.
🌌🌌🌌
Bima duduk disebelah sisi tempat tidur, baru saja selesai mengompres dahi Mahen. Tadi ketika mendapati anak baru itu dengan kondisi lemas dan hampir tidak sadar, ia panik bukan main.
Dengan telaten ia mengganti baju Mahen yang sudah basah karena keringat, dan tumpahan air minum. Memberikan sebutir Paracetamol untuk diminumnya setelah makan sedikit bubur yang diantarkan Satria, lalu menyuruhnya berbaring tidur selagi ia mengompres dahinya.
Suhu tubuhnya naik, hampir mencapai 39° c. Ia mengganti kain hangat, dengan plester kompres bye-bye fever.
Akhirnya anak itu berhasil tidur setelah sebelumnya mengigau memanggil 'Iel' berulang kali.
Sebuah suara pintu terbuka mengalihkan perhatiannya, Satria datang bersama Daniel yang dahinya diperban dan beberapa plester di kaki tangannya.
Bima segera menghampiri, "Daniel nggak papa?" Dengan cepat Daniel mengangguk, pandangannya langsung tertuju pada Mahen yang terbaring lemah.
Ia mendekat, mengusap lembut surai hitam adiknya yang sedikit basah karena keringat. "Mahen tidur, tadi badannya panas jadi Abang kasih Paracetamol, coba nanti dicek lagi suhunya."
Satria kembali dari dapur membawa semangkuk bubur dan meletakkannya dimeja samping tempat tidur. "Sarapan dulu ya, tadi Lo belum makan sesuatu kan?"
Daniel menatap terharu pada dua orang yang lebih tua darinya, hatinya menghangat ketika ada yang memperhatikannya, satu kalimat dari Bima juga membuatnya tersenyum tipis.
"Kalian lagi sama-sama sakit, jadi kalau ada apa-apa jangan sungkan minta tolong ke Abang atau Satria. Daniel juga lain kali hati-hati ya?"
"Makasih ya Bang Satria, Bang Bima maaf ngerepotin kalian," ucapnya tulus.
Satria menepuk pelan bahu Daniel, "Dari kalian tinggal di kos ini, kalian udah kayak keluarga bagi kami." Bima mengangguk membenarkan.
Setelahnya mereka pamit kembali kekamar, karena bahkan keduanya juga belum sarapan.
Daniel kembali memusatkan perhatiannya pada adiknya. Ia juga tidak tahu sejak kapan ia menjadi sesayang ini pada kembarannya, walau ibunya terkadang seperti memperlakukan keduanya berbeda.
Mahen yang merasakan usapan lembut disurai nya itu membuka matanya perlahan. Ia berkedip lambat membuat Daniel terkekeh karena adiknya itu terlihat sangat lucu dengan plester demam di dahinya, kayak anak kecil.
Mahen langsung memeluk perut Daniel erat, "Iel jangan tinggalin Mahen," ia berucap lirih, serius. Ia benar-benar tidak ingin kehilangan kakaknya itu seperti dulu, kejadian yang bahkan ia tak ingin mengingatnya lagi.
"Iel nggak akan ninggalin Mahen kok." Daniel kembali mengusap rambut adiknya. Ia senang ketika adiknya itu super clingy padanya.
"Tadi cuma sarapan dikit, makan lagi ya?" Mahen yang masih memeluknya itu menggeleng. "Ngga mauu,"
"Biar kamu nggak pusing lagi Mahen,"
"Ngga mauuuu,"
"Yaudah iel juga nggak sarapan." Mahen yang mendengarnya berusaha duduk, menatap kesal kakaknya.
"Iel harus sarapan,"
"Iya, tapi Mahen juga ya?"
Tak bisa menolak lagi, Mahen membuka mulutnya menerima suapan bubur itu. Daniel juga ikut menyuapi dirinya sendiri.
Mahen menatap lekat kakaknya, "Ini iel kenapa?" Ia baru menyadari ada perban di dahi Daniel.
"Nggak papa, tadi cuma jatuh."
Mahen menampilkan wajah sedihnya, "Gara-gara Mahen tiba-tiba nelpon ya?"
"Heyy, enggaa. Ini salahnya iel yang nggak hati-hati."
Bukannya tenang, bocah itu malah menangis. Daniel jadi panik, "Mahen?" Satu tangannya menangkup pipi adiknya.
Mahen menatap lurus Daniel, tak bisa jika harus melihat kakaknya terluka lagi.
Lagi?
Entahlah, kelihatannya Daniel yang menyembunyikan banyak hal, tapi nyatanya Mahen lah yang memendam fakta lain.
Tanpa kata, ia memeluk erat Daniel.
"Jangan tinggalin Mahen ..."
"Iel jangan marah sama Mahen ..."
_________________________________
Adakah yang masih baca cerita ini????
Wkwk maaf berantakan😔😔😔
Itu yang nggak vote comment, semoga kalendernya nggak ada tanggal merah👊👊👊
Seperti biasa, ga ada yang tau dari comment mana yang bisa bikin mood aku tiba-tiba bagus😋
KAMU SEDANG MEMBACA
A Family?
Teen FictionIni cerita tentang Daniel dan Mahen, dua anak kembar yang segala hal tentang mereka justru berbeda, lalu tentang Satria seorang anak penyintas broken home dengan segala keceriaannya, dan terakhir tentang Bima laki-laki yang selalu kesepian. Rank # 1...