1
Tahun 2021
Bicara soal omong kosong.
Seekor ular akan selalu ada dalam kehidupan manusia. Melata. Mencari tempat bersembunyi yang cukup lembab. Mengintai di sebuah lubang di antara pot bunga, atau ikut bergelantung di tengah-tengah tanaman rambat yang terjuntai seperti sulir putri Rapunsel. Gadis ningrat tawanan penyihir jahat yang terobsesi dengan rambut. Mengurung sang putri di menara, menunggu penyelamat (yang tidak dikenalnya) datang.
Tanaman itu bernama Air Mata Pengantin. Nama yang konyol tapi terdengar terlalu benar. Apakah setiap pengantin akan berakhir dengan air mata seperti itu?
Kalau saja setiap tanaman memiliki tokoh protagonis dan antagonis tersendiri, maka musuh besar dari klasifikasi tanaman ini adalah sebuah tanaman sansevieria yang sedang tren—Lidah Mertua. Omong-omong, ibuku selalu menggantung pot Air Mata Pengantin tepat di atas tanaman Lidah Mertua. Kebetulan!?
Bentuknya panjang, ujungnya runcing, ada warna hijau dan tidak hijau yang membentuk motif uniknya sendiri. Bergaris-garis, kadang lebih cocok disebut bertotol. Atau berbintik. Kejam, katanya. Mampu mengusir polusi, menghasilkan oksigen (yang tentu tanaman lain dapat juga memberikannya), mampu menyerap alergen—alergi di udara.
Tapi tidak semua mertua begitu, tidak ibuku. Kesan ini hanya untuk perempuan yang memutuskan menikah tanpa memikirkan pentingnya kebiasaan bangun pagi. Perempuan jaman sekarang barangkali, yang sering disebut malas, yang tak bisa memasak, yang tak punya waktu membersihkan rumah. Membuat mertua marah. Sebenarnya aku tidak setuju dengan itu...
Baik. Aku mengerti.
Ini tidak ada hubungannya dengan seekor ular. Penjelasan di atas ternyata tidak sepenting itu.
Mari kita mulai lagi. Selalu ada seekor ular di rumah Hawa. Seorang perempuan yang diciptakan untuk—seorang Adam. Diciptakan dari bagian tubuh Adam lewat sistem cangkok batang. Seperti tanaman buah.
Di dalam cerita yang sama, seekor ular dihadirkan di antara keduanya. Sebagai sebuah permulaan. Tentang kebohongan, tentang tipu daya, tentang perkenalan manusia pertama pada arti kata pengetahuan. Tentang A dan B. Tentang boleh dan tidak boleh. Ular adalah permulaan tentang dosa yang pertama, dan setelahnya, dan setelahnya.
Tentang ular. Aku bertanya-tanya bagaimana dengan mudah manusia jatuh ke dalam dosa karena seekor binatang yang bahkan tak punya kaki dan berjalan dengan perut?
Dan lagi-lagi perempuan disalahkan karena merayu.
Makanya, jangan heran jika mereka menjawab 'terserah' ketika kamu tanya mau makan apa.
Di antara semua mahluk dalam sejarah semesta, Ular adalah yang paling dibenci, karena—bicara konspirasi.
Demikian ular menjadi sosok yang disegani sekaligus ditakuti. Semua kebohongan selalu berlidah dua, semua hal menjijikan disebut bersisik, semua hal mesum selalu 'ular si A', 'ular si B'.
Semua hal kejam selalu—Taylor Sweet. Maaf, maksudnya semua hal jahat disebut ular. Orang ketiga adalah ular. Perayu ulung, dengan semua keterbatasan ia memikat. Mengikat.
Ular. Ular. Ular.
***
Freeya menggaruk-garuk dagunya. Bibirnya dibiarkan mengerucut, alisnya yang berkerut membentuk sebuah jembatan vertikal bergaris tiga di atas tulang hidungnya yang pipih, runcing. Di depannya, berjaga dengan sigap laptop keluaran lama yang sudah dua jam menyala. Cahayanya membuat dahi dan hidungnya yang berminyak berkilap putih dan biru. Perempuan itu menulis sebentar, menghapusnya lagi, lalu menulis lagi, dan dihapus lagi.
Sementara di sekitarnya, buku-buku bertumpuk sembarangan. Mengisi ruang tamu minimalis dengan cat abu-abu yang sebelumnya kosong melompong. Sebulan yang lalu. Ketika yang punya rumah hanya hidup sendirian.
Di luar, suhu udara mulai berubah seiring malam yang mulai turun, memberi titik-titik embun di permukaan daun, atap, juga jendela. Ia duduk sendiri. Semuanya diselimuti kegelapan, kesunyian. Sampai langkah itu datang, menyalakan lampu dengan ujung jari telunjuknya.
"Apa yang membuatmu bingung, Freeya?"
Freeya menoleh, memastikan kalau suara yang ia dengar barusan bukanlah berasal dari setan di kepalanya lagi. Freeya menghela nafas lega. Ia tahu setan di kepalanya tidak pernah menyalakan lampu sendiri.
Si pemilik suara tersenyum. Uap halus mengepul dari cangkir yang tersangkut di telapak tangannya. Perempuan itu mendekat, bau kopi segera tercium, karena Freeya memikirkan kopi.
Setelah Freeya menelan ludahnya, ia terbatuk dengan gugup. Memastikan kalau perempuan tersebut masih membutuhkan jawaban, Freeya menjilat bibir bawahnya.
"Aku ingin menulis tentang seekor ular, di rumah Hawa." Freeya ingin terdengar lebih dari sekedar bergumam. Sebagian dirinya ingin didengarkan, sisanya adalah rasa takut dihakimi.
"Seekor ular di rumah Hawa," suara itu lembut, matanya berkedip-kedip. Pemiliknya memberi jeda untuk kalimat tanya yang selanjutnya. "Di mana Adam? Ini cerita versi yang mana? Setelah makan buah, atau sebelum makan buah?"
Freeya diam lagi sambil berpikir. Ini cerita yang mana? Versi siapa? Apakah cerita ini tak akan mengganggu orang lain? Apakah nanti yang ia tulis akan memberinya masalah? Apakah ada pihak yang akan tersinggung? Apakah landasannya kuat? Apakah ia harus memberi banyak catatan kaki dan melengkapi dengan daftar pustaka? Apakah orang yang membaca buku ini nanti akan mengerti? Siapa yang akan menjadi editornya? Apakah ia akan menjadi editor untuk dirinya sendiri? Apakah buku ini akan laku? Siapa yang akan membeli buku ini?
Tak ingin pusing dengan sifat mindernya sendiri, perempuan itu mengigit bibirnya, kemudian bergumam lagi.
"Selalu, ada seekor ular di rumah Hawa." Kalimat yang jelas diutarakan dengan maksud. Tapi maksud itu tidaklah ia bisa jelaskan. Dengan gamblang. Seperti biasanya.
Suara itu duduk di sebelahnya, menyandarkan kepala di punggung kanan Freeya. Suara itu adalah si pemilik rumah. Suara itu menebarkan atmosfer janggal dalam hati Freeya sejak dulu. Sejak pertama kali mereka bertemu, sejak mereka memutuskan berhenti bertemu. Hingga waktu di mana mereka bertemu lagi enam tahun kemudian. Suara itu perempuan, bernama Becca.
"Semua, semua yang selalu ditandai sebagai yang ketiga. Selalu ada orang ketiga dalam sebuah hubungan. Selalu ada pengkhianat dalam medan perang. Selalu ada tahu isi di antara tempe mendoan," kalimat terakhir Freeya hanya sebuah penekanan.
Becca tertawa. Terdengar manis seperti gula-gula.
Freeya mengangguk. "Sepertimu. Seekor ular."
Becca langsung menutup mulutnya. Tapi perempuan itu sepertinya sudah terbiasa dengan sindiran jahat dan menusuk. Apalagi yang keluar dari mulut Freeya.
Ia menjawab, "Tidak lagi, Freeya. Berhenti menulis tentangku. Hubungan kita, aku dan kamu—sangat kasual. Kita tidak menamai hubungan kita, atau kita belum memberinya nama. Ya, itu lebih baik didengar. Tapi, bukan berarti kamu bebas menamaiku ular. Lagi pula, kamu tidak memiliki—"
"Aku punya seorang suami, Becca."
"Tapi kamu tidak mencintainya," bantah Becca.
"Jaga ucapanmu." Freeya geram.
Becca mendecak. "Baiklah, lanjutkan saja apa yang ingin kamu tulis. Saranku, jangan terlalu semiotik. Gaya itu kuno, tak akan ada yang mau membaca tulisan penuh sampiran."

KAMU SEDANG MEMBACA
TILL WE MEET AGAIN (FREENBECKY) - GXG (END)
Fanfic"Apakah kamu percaya pada cinta pertama?" "Apa yang pertama selalu cinta?" Enam tahun dalam penjara tidak membuat perasaan Becca berubah pada Freeya. Si perempuan idealis, anak pengacara paling ternama-pindahan dari sekolah asrama yang menawan hatin...