3

274 28 0
                                    

3

POV FREEYA

Bagiku universitas adalah studi ekstra, sekumpulan manusia yang mengaku dewasa tapi tidak bijaksana. Semester tiga sudah akan dimulai. Sementara, liburan adalah sebuah kemewahan di pelupuk mata, yang tak bisa dijaga janjinya.

Baru seminggu rasanya Ujian Akhir Semester selesai, nilaiku belum juga keluar, tapi di sinilah aku. Terperangkap di tengah kelompok mahasiswa senior, tepat di depan kerumunan mahasiswa baru. Seribu orang lebih jumlahnya. Yang belum tentu setahun lagi punya cita-cita sama.

Di tengah lapangan, mahasiswa baru berbaris sesuai warna fakultasnya. Mereka dipisahkan oleh seutas tali plastik yang dibentangkan dari sisi ke sisi—mirip kaplingan sawah yang sudah lama tak ditanami padi. Kemudian diklasifikasikan lagi menurut jurusan atau program studi. Mereka berjajar sesuai dengan warna pita; yang lelaki diikat di kepala, yang perempuan menghiasi kepangan rambut. Membuatku tidak bisa berhenti membayangkan cemilan dodol yang digantung di bawah sinar matahari sebelum hari raya. Dan, benda-benda yang mereka gantungkan di leher (yang bahkan pedagang di pasar malu melakukannya), jauh sekali dari kesan terpelajar.

Aku ingin sekali tahu, budaya itu bikinan siapa? Apa asli negaraku? Siapa penggagasnya? Bagaimana sejarahnya? Apa filosofinya? Apa ada hubungannya dengan jaman kolonial? Perbudakan barangkali?

Apa yang dikalungkan itu berfungsi jimat yang bisa membuat mahasiswa baru terbebas dari hukuman dan kemarahan tak beralasan dari senior? Apa itu bagian dari kreatifitas? Atau malah pembodohan masal? Apa itu sebuah simbol? Apa itu—ah!

Kalau ada yang tanya, pendapatku masih sama. Jika suatu saat aku jadi pejabat pendidikan (meski aku sendiri tidak yakin kalau aku mampu), hal macam ini tak akan kubiarkan berlama-lama menjadi usaha sampingan ruko-ruko di sekitar kampus. Setiap kali memikirkan budaya orientasi mahasiswa ini, semakin sulit aku menentukan kalimat yang cukup relevan untuk menyuarakan ketidak-setujuanku.

Masa orientasi mahasiswa baru lagi, malam keakraban lagi. Aku bisa melihat remaja-remaja malang itu tanpa harus menyipitkan mata. Remaja yang dibiayai, dijaga orang tua mereka dengan segala daya dan dididik dengan kasih sayang, dibekali pengetahuan untuk jadi manusia (seperti aku yang juga mengalami hal yang sama setahun lalu). Sangat disayangkan, masih terjadi di kampusku, pada tahun ini.

Lulusan sekolah menengah atas yang berlomba-lomba jadi pusat kebugaran (perhatian). Gadis-gadis dengan wajah lugu dan alis hitam yang digambar, garis pipi digradasi, hidung kecil yang digambar mulai luntur karena keringat.

Jaman sekarang apa ada garis wajah yang tidak palsu? Aku jadi ingin tahu, apa payudara perempuan berparas ayu itu palsu juga? Sebab sejak tadi gadis itu sibuk mengancingi kemeja putihnya yang kekecilan.

Tunggu, aku mengenalnya. Bukankah gadis itu bernama Becca? Bintang sekolah, penari paling wah, semua piala yang dijanjikan pemerintah kota hingga sanggar-sanggar sudah pernah diraihnya. Sekaligus dia, sudah digilir di mana-mana.

Pikiranku langsung melayang juga. Apa benar seorang penari bagus di ranjang? Mungkin tidak juga. Itu kenapa tidak seorang pun bertahan dengan Becca. Semua orang senang membicarakannya. Di belakang, di depan, sebelum melakukan hubungan dengannya, setelah melakukan hubungan dengannya.

Di sosial media, juga media konkrit tempat bersosial. Tapi jika perempuan bernama Becca itu masih hidup sampai hari ini, ia pastilah tidak berpenyakit kelamin, dan (mungkin) tidak perduli dengan penyakit kelamin.

Aku tidak ingin menyalahkannya. Semua hal bisa jadi topik kalau dibicarakan. Di sini, hari begini. Berprestasi adalah kesalahan. Tidak berbakat adalah kesalahan. Berbuat baik adalah kesalahan. Berbuat jahat adalah kesalahan. Semua hal adalah kesalahan.

TILL WE MEET AGAIN (FREENBECKY) - GXG (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang