2

375 28 0
                                    

2

POV BECCA

Tahun 2015

Cinta pandangan pertama adalah omong kosong yang selalu berakhir dengan cara yang sama.

Seperti kata ayah kandungku, ketika Sayu, membawaku ke dunia, dan menamaiku Becca. Di matanya ada cinta. Seperti cinta pada pandangan pertama. Dulunya aku percaya. Aku senang mendengarnya. Kuminta Ayah untuk mengulangnya. Sekali setiap malam, sebelum dongeng tidur dimulai. Bahwa aku, adalah cinta pertama ibu.

"Lalu bagaimana dengan Ayah? Apa Ayah bukan cinta pertama ibuku?" Begitu pertanyaanku. Ayahku tersenyum. Tapi ia tidak pernah menjawab pertanyaaku. Mungkin ayahku tahu jika jawabannya adalah 'ya', maka aku akan bertanya lagi, apakah cinta pandangan pertama boleh terjadi dua kali?

Dan, ayahku sudah mengambil keputusan yang tepat malam itu, dan malam setelahnya. Sehingga ketika pria itu pergi di umurku yang ke-enam belas, ia tidak terlihat seperti penipu. Sedari awal niatnya memang untuk membuat aku mengerti. Kalau aku tak pernah menjadi cinta pertamanya.

"Kita tidak memilih cinta. Cinta yang memilih kita. Cinta bisa terbang seperti burung dara. Cinta bisa meloncat tinggi seperti lumba-lumba. Cinta ada di mana saja dalam bentuk apa saja. Kita hanya bisa menginginkannya, tapi tak boleh meminta untuk memilikinya," katanya.

Bicara soal cinta pada pandangan pertama. Adalah sebuah labirin panjang yang terdiri dari lorong-lorong identik—mustahil menceritakannya tanpa berbelit-belit.

Labirin miliku, dimulai dari sekolah dasar.

Bagiku sekolah dasar adalah tentang bagaimana cara menjadi nomor satu. Harus juara satu. Baik di bidang teori—matematika, bahasa, sosial dan pengetahuan alam. Juga olah raga, lomba lari, kasti atau bisbol, permainan benteng—sebuah permainan dengan ide awal menjaga wilayah kekuasaan agar tak dilewati musuh, permainan bola tangan—yang sampai sekarang menjadi misteri—mungkin mirip basket atau voli tapi bukan sepak bola.

Sekolah dasar adalah menjadi nomor satu, di antara teman perempuan. Siapa pun orang pertama yang memiliki pulpen berbentuk cantik akan disegani. Yang paling pintar bermain tali, atau punya beberapa pasang baju barbie adalah orang kaya.

Aku belajar mengingat wajah teman-teman sekelasku. Mengingat nama mereka, kebiasaan dan menu makan siang mereka. Termasuk zodiak mereka. Aku belajar menyapa, basa-basi, juga mengeja tiga kata paling penting dalam hidup manusia. Tentang tolong, maaf dan terimakasih.

Tolong jangan jadi anak brengsek, maaf kata-kataku kasar, terimakasih sudah mau memaklumi.

Aku mulai bisa membedakan mana anak yang berkulit terang, atau yang berkulit gelap. Aku mulai menyukai seseorang dan mendapat perhatian dengan cara mengerjainya. Dan, mengatasnamakan perasaan itu sebagai benci.

Cinta belum ada.

Sejarah membuat wanita berpikir bahwa 'cinta' adalah hal besar dan tak terjangkau, yang ada hanya rasa suka. Tidak ada cium pipi. Yang layak hanya berpegangan tangan, tapi jangan bilang siapa-siapa.

Kemudian kami lulus, dan lupa adalah kepastian. Waktu itu aku belumlah tahu, kalau bintang jumlahnya tidak satu.

Tapi tidak ada yang benar-benar tahu apa yang terjadi pada saat sekolah menengah. Pada masa ini, aku dikenalkan pada insiden-insiden bernama 'kesialan' untuk hal buruk dan 'kebetulan' untuk hal baik. Kebetulan, aku mendapatkan datang bulan yang pertama ketika kelas enam. Baik sekali. Karena setahun kemudian aku tahu kalau banyak juga gadis yang memiliki hormon yang tidak stabil.

Belum lagi, mengenai rasa takut yang dihadirkan di kelas biologi, beberapa siswi panik karena katanya menstruasi adalah ambang awal—sebuah tanda bahwa seseorang bisa memiliki keturunan. Bagaimana jika tidak? Mungkin akan terlambat, atau hanya semesta yang tahu kapan. Sialnya, hari pertama menstruasi membuat celana tidur putih kesukaanku berlumuran darah. Sial sekali.

TILL WE MEET AGAIN (FREENBECKY) - GXG (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang