HAPPY READING💗
Kini yang ia ingin hanyalah menepi dari rasa sakit yang mengurung diri. Yang memaksanya diam dalam keadaan pelik yang mencekik. Ingin rasanya marah tanpa lagi pasrah, berkeluh tanpa lagi luruh dan mengadu tanpa lagi kelu.
Shankara ingin memberi nafas pada hari-harinya dengan cara bercerita. Tapi adakah orang yang mau menjadi pendengar tanpa perlu menghakiminya?
"Sakit kayak gitu aja kamu ngeluh?! Kamu tau? Jauh lebih sakit menjadi saya! Harus mengurus anak dari orang yang menghancurkan keluarga saya!"
"Yaelah... Hidup Lo sempurna apalagi yang buat Lo gak bahagia?"
"Harusnya Lo bersyukur, di luar sana ada orang yang hidupnya gak seberuntung elo"
"Bisa stop bilang capek gak! Gue juga capek anjing ada disituasi begini!"
Memori-memori pahit itu terputar jelas di otak kala ia mencoba bercerita perihal dirinya dan rasa sakit yang ia rasa selama ini kepada orang sekitarnya. Sampai ia berada di titik dimana baginya tak semua telinga ingin mendengar keluh deritanya dan tak semua mata peka akan lukanya.Pada akhirnya ia hanya bungkam dan sesekali mengadu dibawah guyuran air hujan. Harap rintiknya menyapu semua rasa sakit yang ada pada dirinya dan berharap tuhan bisa mendengar dan berbesar hati untuk meringankan sedikit bebannya.
Shankara tak sekuat yang ia tunjukan, sering ia mencoba mengakhiri hidup tapi selalu saja gagal seakan tuhan dan semesta enggan menerimanya.
Sekarang, percaya pada siapa?
Apa ada bahagia didepan sana?
Apa ada yang dengan lapang hati menerimanya?
Apa ada orang yang Sudi melihat lukanya?, bahkan sang pencipta seperti enggan memeluknya. Permainan takdir macam apa ini? Apa hanya ia yang diperlakukan seperti ini?"Lo ngapain ujan-ujanan?" Lamunan shankara buyar ketika ada suara yang menginterupsinya.
Ia menengok ke asal suara untuk memastikan siapa yang tau dirinya berada di sini "Biyas?" Lo ngapain disini?"
"Harusnya gue yang tanya kayak gitu" balas biyas dingin, ia berjalan mensejajarkan tubuh dengan orang yang selama ini ia tak pedulikan.
Rintik-rintik air tuhan membasahi dua saudara itu.
"Kok Lo tau gue ada disini?" Ucap shankara memulai percakapan. Ia tahu betul bahwa biyas tidak akan bicara jika tidak ditanya terlebih dahulu.
"Feeling" balas biyas, yang sontak membuat shankara melihat kearahnya dengan wajah bingung.
Sudut bibir biyas menyungging kala melihat ekspresi shankara "kita kan saudara makanya gue punya feeling Lo ada dimana"
"Yas... Bukannya selama ini lo gak peduli sama gue?"
"Lo pikir karena gue punya feeling Lo ada dimana, terus gue peduli ke Lo? Enggak sama sekali" masih dengan gengsi yang setinggi gunung Fuji, biyas menepis segala pemikiran shankara.
Mendengar itu shankara tertawa miris "harusnya gue gak berekspektasi ke Lo sih"
"Maafin mama ya" ucap biyas lirih.
"Maafin atas segala perlakuan mama yang nyakitin Lo"
"Dan maaf, gue gak bisa jadi saudara yang ngelindungin Lo dari mama" sambungnya.
Riuh rintik hujan sore itu semakin deras tapi tak membuat percakapan kedua saudara itu terusik. Shankara diam sebagai tanggapan atas permintaan maaf tiba-tiba dari biyas.