👹 Buhul || Bab 16

757 73 21
                                    

Kejadian Aneh

👹👹👹

Selamat membaca

***

Rasmi mengupas pisang raja yang tadi Ambar beri, dia akan membuat pisang goreng untuk menemani sore hari. Terlihat mendung mulai menguasai langit, padahal musim hujan masih beberapa bulan lagi. Memang sekarang musim tidak bisa diprediksi, hujan bisa datang kapan saja.

Lekas dia meninggalkan sejenak adonannya yang sudah siap, kemudian berjalan keluar untuk mengangkat jemuran. Ada beberapa baju gamis miliknya yang belum sepenuhnya kering, dia pun meletakkan baju tersebut di samping tembok yang mana memang untuk meletakkan baju setengah basah.

Setelah meletakkan baju miliknya di kamar, Rasmi kembali ke dapur untuk menyelesaikan pekerjaannya.

Baru saja akan mengambil adonan, jantungnya seakan lepas ketika kakinya menginjak sesuatu. Untung saja dengan sigap tangannya berpegangan dengan ujung meja, membuat dia urung terjerembap ke lantai.

"Astagfirullah," gumam Rasmi sembari menegakkan diri.

Dia mengusap dadanya yang berdebar, kemudian melihat ke bawah meja yang mana kulit pisang berceceran. Segera Rasmi berjongkok, dia memunguti kulit pisang tersebut dan membuangnya ke tempat sampah.

Sejenak wanita cantik itu berpikir ketika mengupas pisang, kulitnya dia masukkan ke dalam keresek.

Namun, sekarang bisa berceceran di lantai. Tidak hanya satu melainkan semuanya, sedangkan keresek yang sempat digunakan masih ada di atas meja.

Rasmi pun teringat pembicaraannya dengan Bu Ratna pagi tadi, wanita baya itu mengatakan dengan jujur jika melihat penampakan di halaman rumahnya. Dia tidak sepenuhnya percaya, tidak ada sanggahan yang bisa dikatakan untuk Bu Ratna karena wanita baya itu mengatakan mungkin saja salah melihat.

Azan Asar berkumandang, terdengar merdu di telinga Rasmi. Dia baru saja selesai membuat pisang goreng juga teh panas untuk menemani sore harinya.

Hujan dengan kapasitas sedang telah mengguyur, terlihat beberapa genangan muncul di halaman. Rasmi dengan santai menikmati pisang gorengnya, tetapi kilat sekejap mata muncul. Beberapa detik kemudian, suara guruh terdengar memekakkan telinga.

Tidak berhenti di sana, lampu neon 10 Watt yang menerangi ruang tamu langsung padam membuat jantung Rasmi berdebar hebat.

Wanita itu memang takut dengan gelap, sebisa mungkin ada cahaya yang meneranginya. Langit tampak semakin mengelabu ketika dia membuka kelambu jendela depan. Rumah warga juga sepi, padahal jam masih pukul 5 sore.

Lekas Rasmi berjalan menuju dapur, dia ingin mengambil cublik untuk menerangi rumah. Namun, tiba-tiba lampu kembali menyala membuat dia berjalan menuju kamar untuk membereskan baju.


👹BUHUL👹


Gerimis sejak tadi terus menguyur, sesekali guruh pun terdengar seakan menggelinding di langit malam. Melihat intensitasnya yang turun, bisa dipastikan jika hujan tidak benar-benar berakhir.

Meskipun begitu, tidak menyurutkan para warga yang bertugas di pos kamling. Di sana sudah berkumpul Ruslan, Pak Wisnu serta Pak Amin. Mereka berbincang-bincang ringan sambil bermain kartu seperti biasanya.

"Oh, iya. Kemarin itu istri saya bilang, katanya melihat penampakan di depan rumah Rasmi," kata Pak Wisnu sembari fokus ke permainan.

"Penampakan?" sahut Ruslan.

Pak Wisnu mengangguk, dia menelisik teman-temannya sembari berkata, "Iya, katanya ada orang berjongkok di bawah pohon sawo."

"Masa? Bisa saja istri kamu salah melihat, Nu," sahut Pak Amin.

"Sebenarnya saya juga tidak percaya, hanya saja wajahnya menjelaskan semuanya."

Langkah serentak terdengar mendekat, terlihat Arip dan Jaka datang membawa cerek kopi serta gorengan. Melihat itu Ruslan tersenyum, dia lekas menggeser agar mereka berdua bisa duduk.

"Kalau begini ceritanya, enak, nih," kata Ruslan sembari mengambil gorengan.

Arip yang mendengar lekas mencebikkan bibirnya,  dia menatap Ruslan sembari berkata, "Enak kalau tinggal makan, jangan lupa iuran di akhir acara."

"Ternyata, begini kelakuan kamu, Rip," kata Ruslan tidak terima.

"Memangnya kenapa?" kata Arip, "hidup itu tidak lepas dari duit--"

Belum selesai lelaki tambun itu berbicara, terpaksa dia melihat sekeliling ketika mendengar tawa pelan tepat di telinganya. Netranya awas menatap Jaka, tetapi wajah datar lelaki berudeng itu melenyapkan dugaannya.

"Aku kira kamu tertawa baru saja," sahut Arip.

Jaka mengernyitkan kening, dia merasa aneh ketika mendengar Arip berkata seperti itu. Lekas dia menunjuk Pak Amin sembari berkata, "Pak Amin mungkin, aku tidak tertawa."

"Aku dengar jika tawa itu tepat di telingaku dan itu memang tidak mungkin kamu, Jak!"

Ruslan yang mendengar lekas berceletuk, "Apa jangan-jangan arwah Mas Dani, kata Pak Wisnu kemarin istrinya lihat penampakan di rumah yang Mbak Rasmi tinggali sekarang."

Jaka mengangkat sebelah alisnya, kebiasaan lelaki itu ketika mendengar sesuatu yang baru. Dia melihat Pak Wisnu yang mengangguk, kemudian menceritakan kejadian yang dialami istrinya.

Ini pertama kali Jaka mendengar penampakan yang dialami Bu Ratna, dia pun belum pernah melihat makhluk gaib. Meskipun begitu, dia percaya jika Allah menciptakan sesuatu yang tidak tampak mata biasa.

Arip yang bersebelahan dengan Ruslan lekas melayangkan tangannya, cukup keras hingga lelaki berkumis itu merasa kesakitan.

"Sakit, Rip!" sentak Ruslan.

"Makanya kalau bicara jangan mengada-ada, sama saja kamu itu membuat orang salah sangka!"

Jaka mengangguk setuju. "Iya, itu tidak mungkin. Bisa jadi salah melihat."

"Sudah, jangan geger," sahut Pak Amin, "waktunya keliling, siapa yang mau?"

Semua orang terlihat saling menatap, kemudian saling menunjuk. Melihat itu Jaka pun mengalah, dia mengajak Arip untuk berkeliling kampung. Sebagai warga yang baik, dia ingin memastikan keadaan dusun Lawangan aman dari bahaya.

***

👹BUHUL👹



JANGAN LUPA VOTE DAN KOMEN.

Buhul || TAMATTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang