🦋 HAPPY READING 🦋
Pagi ini adalah hari pertama Hildan ospek di kampus impiannya, kampus yang sudah lama ia idam-idamkan. Tidak seperti kebanyakan cerita, yang penuh drama saat hari pertama ospek—seperti bangun kesiangan, atau kelengkapan ospek yang belum lengkap—Hildan berbeda. Meski ospek dimulai pukul 8, subuh tadi, abangnya, Hendro, sudah memaksa Hildan untuk bangun dan bersiap-siap. Semua perlengkapan dan kebutuhan ospeknya sudah disiapkan oleh Hendro dan Marlo, dua abangnya yang juga menjadi mentor ospek. Tanpa sedikit pun masalah, segala persiapan sudah tertata rapi.
Setelah mandi, Hildan berdiri di depan cermin yang tingginya kira-kira sama dengan dirinya. Tentu saja, Hildan tidak tinggi-tinggi amat—kalau menurut Bang Jerry, dia sih disebut "bocah kurang gizi."
Jelas Hildan membantah. Badannya berisi kok, kenapa malah dikatain kurang gizi?
Dia masih berdiri di depan cermin, gaya ala-ala model, sambil memuji dirinya sendiri, "Anjay, kece amat gue."
Tiba-tiba terdengar suara dari arah pintu kamar. "Anak sekecil itu, berkelahi dengan ospek," kata Jerry, yang muncul di ambang pintu, dengan senyum jahil yang mengganggu Hildan.
Belum sempat membalas ledekan abangnya, Hendro ikut muncul di pintu kamar. "Heh, kecil, masa lo udah mau kuliah?" tanyanya sambil tersenyum lebar.
Hildan merengut. Jerry malah tertawa terbahak-bahak, menampakkan dimples-nya yang bikin senyumannya makin manis.
"Denger ya, abang-abang gue semua, Hildan udah gede, bentar lagi jadi mahasiswa," kata Hildan, berusaha sabar, meski rasanya pengen banget nampol wajah abangnya.
Marlo, si abang paling waras, kebetulan lewat dan hanya berkata, "Udah, heh, nanti nangis. Gue nggak mau tanggung jawab." Tanpa berhenti langkahnya.
Karena merasa dibela, Hildan membusungkan dadanya. "Tuh, dengerin kata Bang Marlo!"
Lalu, ia kembali fokus pada cermin yang menjadi saksi bisu drama pagi ini. "Lagian, sehari aja waras gitu. Gangguin Hildan mulu," lanjutnya sambil cemberut. Bibirnya maju 10 cm, pipinya yang menggemaskan membuat Hendro tidak tahan untuk tidak memeluk adiknya.
"Aaaak, gemes banget, pengen gue gigit!" ujar Hendro, lalu tanpa ragu menggigit lengan Hildan.
"Argh! Sakit, anjir, bang! Gila!" keluh Hildan, mengusap lengannya untuk mengurangi rasa sakit, meski tak secepat itu. Hendro hanya cengengesan.
Beberapa menit kemudian, Hendro dan Marlo mengajak Hildan berangkat ke kampus, meski baru pukul 7 pagi. Hildan ingin membantah, tapi tak bisa. "Biar nanti abang ajak kamu keliling kampus dulu," kata Hendro.
🌷🌷🌷
Ospek hari pertama dimulai, dan Hildan melaksanakannya dengan semangat. Ia bahkan tidak terlihat lelah sedikit pun, malah kedua abangnya yang khawatir. Hildan terlalu bersemangat dan hiperaktif, seperti anak kecil.
Hildan juga sangat ramah, mudah bergaul, dan cepat beradaptasi.
"Hildan, lo nggak takut sama orang yang di depan lo?" bisik Jian pelan, tapi tetap terdengar jelas di telinga Hildan.
Hildan tahu siapa yang dimaksud Jian. Maba di depan mereka yang badannya berotot, keras kepala, dan dingin. Maba itu terpilih jadi ketua kelompok mereka karena sifatnya yang perfeksionis, teliti, telaten, bertanggung jawab, dan sangat disiplin. Hildan tebak, orang ini bakal jadi kesayangan dosen-dosen nantinya.
"Gak, lihat aja, pasti ini orang jadi temen Hildan," jawabnya dengan percaya diri, sambil menyunggingkan senyum lebar. Jian hanya mengangguk pelan.
"Hai, Hildan..." sapa seseorang yang membuat keduanya terkejut.

KAMU SEDANG MEMBACA
HILDAN'S STORY
FanfictionTentang Hildan yang menjadi bungsu di keluarganya. Memiliki kepribadian yang lembut, membuat semua orang nyaman padanya. Ia memiliki 3 orang kakak yang tampan dan menjadi incaran banyak wanita. Namun, fokus mereka hanya Hildan. Hildan juga memilik...