Sore menjelang malam, sunyi menyelimuti seisi rumah.
Lukisan alam tercipta di langit, terlukis dengan indahnya. Oranye, kuning dan merah bercampur menciptakan gradasi warna yang beragam. Daun-daun di pepohonan turut bergoyang ke kanan dan kiri, berkat sang angin.
Namun, dibalik teduhnya sore kala itu. Sepertinya butiran-butiran kecil turun berbentuk air. Gerimis.
Entah pergi ke mana semua penghuninya.
Alian menjadi orang pertama yang menginjakkan kaki di kediaman nya.Ia memilih duduk di teras sore itu dan menikmati setiap rintikan hujan. Sayup-sayup, suara rintikan itu menjadi melodi dari sebuah lagu yang menenangkan pikiran dan perasaannya. Alian terhanyut dalam ketenangan hujan.
Dahulu, jauh sebelum mengenal Nindita, Alian benci setengah mati pada hujan. Terdapat memori yang membuat dirinya tak menyukai hujan.
Kalau saja ia tahu dari dulu, bahwa euforia hujan setenang ini. Maka tak akan ia habiskan waktunya dahulu untuk merutuki hujan tiap kali air-air itu terjatuh. Ia juga tak akan berdecak kesal setiap kali hujan turun.
Namun bukan salahnya juga, jika ia pernah membenci hujan. Kenapa juga Ibunya dulu harus pergi ke surga pada saat hujan turun?
Ditengah agenda bengong nya sambil menatap tiap tetesan hujan, tiba-tiba saja Hildan muncul, berjalan ke arahnya dengan payung ditangannya. Wajahnya benar-benar ceria.
Alian tersenyum, "Pulang bareng siapa tadi? Kok nggak bilang Papa aja? Biar Papa yang jemput adek."
Seraya menutup payung nya, Hildan berkata "Dianterin Jean, Pa."
Hildan menjeda ucapannya karena sedang minum air dari botolnya. "Lagian, kalo adek bilang Papa, adek takut ganggu Papa. Terus juga tadi berangkatnya bareng temen-temen." lanjutnya.Alian mengangguk, lalu kembali menatap rintikan itu. Sesekali ia memejamkan matanya dan terlihat menikmati sejuknya suasana saat hujan.
"Papa suka hujan?" Hildan memecah keheningan, ia juga ikut duduk di bangku teras dan menemani Papanya.
"Suka. Hampir tiap kali hujan turun, Papa selalu langsung bengong gini, sambil ngeliatin air-air nya jatuh." penjelasan Alian membuat Hildan mengangguk paham dan ikut memandang tetesan air itu.
"Adek juga suka hujan?" Alian menoleh dan mendapati Hildan sedang memejamkan matanya dan menarik napas dalam-dalam.
Tanpa berniat membuka matanya kembali, Hildan menjawab dengan mata terpejam. "Adek suka. Dulu waktu Papa masih di luar negeri, Hildan suka kangen Mama dan Papa tiap hujan turun."
Alian tersenyum getir, merasa bersalah pada ketiga anaknya, terlebih pada bungsunya.
"Terus Bang Hendro suruh Hildan bikin kapal kertas, sebelum dibikin kapal kata Abang kertasnya suruh ditulis doa-doa dari Hildan buat Mama sama Papa," Hildan membuka kembali matanya, pandangan nya lurus menatap hujan.
"Terus diapain kapal kertasnya?" tanya Alian setelah hanya diam dan mendengarkan Hildan saja dari tadi.
"Hildan hanyutin di selokan deket jendela kamarnya Papa," jawab Hildan dengan polos. Alian tak bisa menahan lagi tawanya, akhirnya kekehan kecil lolos dari mulutnya. Lalu Alian mengacak rambut Hildan sebagai bukti bahwa dia merasa gemas pada bungsunya.
Rintikan yang tadinya hanya berbentuk gerimis. Lama kelamaan menjadi hujan yang tak terlalu deras. Lian habiskan waktunya di sore hari untuk bercerita dan mengobrol bersama Hildan sebelum hari berubah malam. Bungsunya tak berubah sejak dulu.
Bungsu yang sedari dulu selalu ingin membagi-bagikan jelly kesukaannya pada temannya. Wajahnya pun masih sama cerianya dengan dulu. Badannya juga masih sama, kecil. Tak ada yang berubah, hanya semakin tua malah semakin gemas dan lucu anaknya itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
HILDAN'S STORY
FanficTentang Hildan yang menjadi bungsu dari duda kaya raya. Ia memiliki 3 orang kakak yang usil dan jahil menjadi love language mereka. Ia juga mempunyai 3 sahabat, Hildan menyayangi mereka, dan mereka menyayangi Hildan. Pada suatu kejadian, terdapat...