Di sinilah Jian berada sekarang. Setelah bergelut dengan tugas-tugas kuliahnya, ia langsung bergegas menuju cafe tempatnya bekerja.
Dengan perasaan yang cemas membuat dirinya tidak fokus bekerja dan terus melakukan kesalahan. Ia salah saat membuatkan pesanan pelanggan, dan tak berselang lama kakinya tersandung kaki-kaki meja yang menyebabkan nampan yang berisi kopi dan beberapa kue itu terjatuh.
Sebenarnya rasa cemas yang dirasakan Jian adalah karena ibunya.
•••
Dengan langkah kaki yang cepat, Jian menyusuri lorong-lorong rumah sakit. Harap-harap Ibunya akan baik-baik saja.
Sejam yang lalu ia mendapat telepon dari tetangga yang ia percaya untuk menjaga ibunya saat dirinya tak bersama sang Ibu.
"Le, ibu mu masuk Rumah Sakit," kira-kira seperti itu, Jian tak terlalu ingat bagaimana kata Budhe Siti. Yang jelas, kini ia ingin segera melihat keadaan ibunya.
Beberapa saat ia menunggu dengan perasaan tak karuan dan terus mondar-mandir di depan pintu ruangan ibunya, dokter akhirnya keluar.
"D-dok, gimana... gimana keadaan ibu saya?" tanya Jian dengan terbata-bata, bahkan ia sudah menangis sekarang.
"Kondisi jantung pada tubuh Ibu Wulan sudah semakin parah. Kami memerlukan donor jantung secepatnya atau Ibu Wulan tak bisa bertahan lagi." ucap dokter itu menjelaskan. Spontan tubuh Jian lemas, ia lupa caranya untuk berdiri tegak.
Budhe Siti menenangkan Jian dengan mengusap-usap punggungnya, meski tak bisa dibohongi lagi, air matanya juga terus mengalir deras di pipinya.
Wulan adalah teman masa kecilnya, dahulu saat ke mana-mana mereka selalu berdua. Bohong kalau ia tidak merasa sedih sekaligus sakit saat ini.
"Pihak dari Rumah Sakit ikut mencarikan donor untuk Bu Wulan, sementara keluarga pasien juga kami harap ikut mencari," seusai mengatakan itu, sang dokter berlalu dengan langkah yang perlahan.
•••
Tumpahnya kopi-kopi itu membuat ia semakin merasa hancur, seperti kue-kue itu juga yang sama hancurnya.
"GIMANA, SIH? KERJA KOK NGGAK BECUS!" seru pelanggan itu dengan emosi yang meledak-ledak.
Jian hanya menundukkan kepalanya, tak berani mengangkatnya. Karena, sejujurnya ia kembali menangisi kondisi Ibunya.
Yang terputar di kepalanya hanyalah cara mendapat donor jantung untuk ibunya. Apakah ia harus mendonorkan jantungnya untuk sang Ibu?
***
Jean dan Nandra kini ada di luar rumah Hildan. Kangen katanya.
Padahal baru tiga hari tak bertemu. Lebay emang, apalagi yang namanya Jean.
Jean mengangkat tangannya hendak mengetuk pintu. Tapi tiba-tiba tangan Nandra menghadang. Tentu Jean langsung menoleh.
"Kenapa kita harus ngangkat tangan buat ngetuk pintu? Kan, bisa dari bawah ngetuknya." celetuk Nandra.
Jean pun membuat gerakan seolah sedang berpikir sebelum mengatakan sesuatu. "Oh iya, bener juga," dengan cepat Jean kembali menurunkan tangannya dan mengetuk pintu itu.
"Kenapa nggak sekalian pake kaki aja?" tanya Jean heran. Mengundang tawa dari Nandra.
Setelah itu pintu terbuka, bukannya wajah lucu Hildan yang nampak, malah wajah galaknya Marlo (bagi Nandra sih galak)
![](https://img.wattpad.com/cover/364546097-288-k56678.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
HILDAN'S STORY
Fiksi PenggemarTentang Hildan yang menjadi bungsu di keluarganya. Memiliki kepribadian yang lembut, membuat semua orang nyaman padanya. Ia memiliki 3 orang kakak yang tampan dan menjadi incaran banyak wanita. Namun, fokus mereka hanya Hildan. Hildan juga memilik...