05. Please Don't Go

32 11 0
                                    

"FELIX!"

Air mata Aji lolos begitu saja saat ia melihat mobil keluarga Felix yang terlihat sudah tak berbentuk. Ia ingin menangis dan memeluk jasad Felix namun posisi mobilnya yang terjebak macet membuatnya tak bisa menghentikan laju mobilnya dan membuatnya meninggalkan tempat dimana mobil keluarga Felix kecelakaan.

Sorenya, ia terlihat mendatangi makam Felix beserta keluarga Andrea. Ia terlihat menangis tersedu-sedu.

"Lix, lu kenapa sih harus tinggalin gua di sini sendirian?" tanya Aji pelan saat ia duduk dan mengelus makam Felix.

"Hiks... gua kesepian kalo gak ada lu, Lix!" ucapnya lagi dan menangis sesenggukan. Ia tak bisa membendung lagi air matanya. Yang hanya ia lakukan hanya memeluk nisan makam sahabatnya itu dan menangis, bahkan saat hujan turun membasahi tubuhnya pun ia tak bergeming sama sekali.

*****

Esoknya, Aji terlihat sedang berdiri sendirian di lorong menuju kelasnya. Karena semalam demam, ia mengenakan Hoodie yang dirangkap dengan kaos oblongnya. Setelah kepergian Felix sahabatnya itu, kini ia lebih suka menyendiri di bandingkan berkumpul bersama teman sekelasnya.

Ia bahkan lebih sering diam, di bandingkan dengan dahulu yang sering sekali membuat keributan karena keusilannya. Saat bel jam pelajaran pertama berbunyi, ia juga ingin segera lekas kembali ke dalam kelas.

"Aji?" Tiba-tiba ada seorang wanita paruh baya memanggil namanya. Namun, Aji tidak menghiraukan panggilan itu karena masih bergelut dengan pikirannya sendiri.

"Aji... Aji!"

"I-iya, ibu?" Aji tersentak saat ia tahu yang memanggil namanya sedari tadi adalah Sonia, dosen filsafat dan sastra di fakultasnya.

"Keningmu kenapa, Ji?" tanya ibu dosen itu khawatir.

"Gak apa-apa bu," jawab Aji lirih.

"Kamu jangan bohong, Ji. Ibu lihat luka di keningmu itu mengeluarkan darah."

Ya, yang dikatakan oleh dosen Aji benar. Luka yang tercipta akibat terjatuh di kelas tempo hari itu kembali parah akibat ia menabrak tiang saat dirinya berlari ketakutan beberapa hari yang lalu.

"Beneran, bu. Aji nggak apa-apa."

"Tapi, kenapa wajahmu pucet banget, Ji?" Sonia mengelus pipi Aji lembut. Memang benar wajah Aji sangat terlihat pucat. Ia bahkan merasakan tubuhnya yang benar-benar tidak enak karena kemarin ia terkena hujan saat ia berkunjung ke makam Felix. Sehingga ia mengenakan Hoodie berwarna merah kesukaannya itu demi menahan terpaan angin yang membuat tubuhnya semakin sakit.

"Aji pengen langsung ke kelas aja bu... Aji gak apa-apa." Aji memaksakan diri untuk segera kembali ke dalam kelasnya. Namun saat ia baru saja melangkahkan kakinya, langkahnya terhenti karena Sonia menahan tangannya.

"Jangan bilang gapapa. Ikut ibu yuk, sini!" ucap Sonia dan segera membawa Aji ke dalam ruang unit kesehatan mahasiswa yang kebetulan letaknya tidak jauh dari tempat Aji berdiri tadi.

Sonia langsung membuka kotak P3K dan memberikan alkohol pada kapas yang langsung dioleskan pada kening Aji. Aji meringis menahan perih.

"Kamu tahu, Ji? Kamu mirip banget sama anak ibu. Dia namanya Brian Kavindra. Dia pastinya udah lebih tua dari kamu kalo aja dia nggak...." Aji merasakan pelukan Sonia makin mengerat. Tubuhnya bergetar dan matanya mulai memanas. Aji mengerutkan dahinya, bingung.

"Brian nggak bunuh diri...." Sonia menangis sesegukan di dalam pelukan Aji.

"Dia lompat dari rooftop sekolahnya saat SMP, Ji...."

"Bu...." Aji mengelus punggung sang dosen.

"Ibu boleh kok, anggep Aji kayak anak ibu sendiri," ucap Aji, lirih. Sonia melepaskan pelukannya dan menatap mata Aji sendu.

[2] Mirror • Han Jisung ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang