02. Suatu hari

5 0 0
                                    

Kata orang, mimpi adalah bunga tidur.  Kata orang yang menguasai spiritual, mimpi adalah pertanda mengenai masa depan. Kata seorang dokter, mimpi adalah suatu hal yang dibuat oleh alam bawah sadar kita. 

Menurutku yang seorang mahasiswi penyendiri, tidak memiliki teman, tidak memiliki apapun yang berarti di dunia ini, dan hanya menghabiskan waktu untuk berdiam diri setelah melakukan kegiatan seperti orang umumnya, mimpi adalah aku di dunia lain. 

Iya, benar. Aku akan mengatakannya seperti itu setelah kurang lebih delapan belas tahun hidup dan menjalankannya sebagai orang berbeda. Percaya dengan omonganku yang mengatakan bahwa jika kamu mimpi lebih dari tiga kali mengenai suatu hal yang sama, maka mimpi itu terjadi, entah konteksnya apa. Tidak hanya itu, jika kamu mimpi dan berkesinambungan dengan mimpi lalu dan lebih baiknya lagi adalah masih lanjut dengan mimpi esoknya, maka itu adalah sebuah perjalanan antar spiritual. 

Hahaha, lucu. Lupakan omong kosong ini, kawan-kawan. Ini hanyalah teori-teori aneh ketika aku baru bangun dari tidurku tetapi malas untuk mandi yang padahal aku harus pergi ke kampus. Aku biasa berpikir sejenak tentang makna-makna mimpi yang baru saja aku lalui. Kerennya adalah, aku masih ingat beberapa mimpi yang sudah lama sekali aku alami. Gabut banget, ya?

Tetapi, membuat teori atas suatu hal yang tidak jelas itu menyenangkan. Padahal, aku tidak begitu suka tentang mitos dan lainnya yang berkaitan dengan supranatural. Sekarang? Wah, ternyata menyenangkan sekali! Apalagi jika kamu mengalami serangkai kejadian yang tidak memiliki jawaban entah dari internet maupun buku-buku yang ada di perpustakaan lama. 

Sebuah gadget pintar aku genggam dan angkat, mencoba mengetuk layarnya dua kali hingga menyala dan menunjukkan lock screen. Sekarang, jam sepuluh pagi. Aku telat untuk hadir ke acara hari ini, tetapi, aku memang tidak di-plotting. Sejak acaranya berjalan juga aku tidak di-plotting untuk bekerja.

Tapi, aku bosan. Gabut banget, sumpah. Apa yang harus aku lakukan hari ini? Tentu saja, bermain bersama gadget ini hingga sore tiba. Itu pilihanku hari ini, mungkin yang terbaik. 

***

Merenung. Tubuhku terbaring dengan lemas. Mata ini tampak malas untuk melihat realita. Sekarang pukul tiga sore dan aku kena mental sejak awal aku bangun. Aku belum makan juga, dan tidak ada rencana makan untuk hari ini, mungkin. Gadget pintarku sengaja aku matikan, total. 

Harusnya aku tidak bermain sosial media untuk melihat update dari orang-orang. Kini, penyesalan merasukiku, menggerogotiku layaknya ulat-ulat. Hatiku sudah bolong sebesar palung mariana rasanya. Hanya angin lewat yang memenuhi dada ini, oksigen lebih tepatnya. Cuma, kenapa sesak ya setelah aku melihat apa yang terjadi dengan Awan. 

Aku benci bangun tidur, sekarang. Berapa kali aku mengatakannya ini sejak sekolah menengah pertama? Ratusan, mungkin, seperti lapisan wafer terkenal. Aku benci semuanya, dan rasa benci ini semakin besar ketika mengingat semua kenangan bersama Awan. 

Harusnya aku tidak mematikan ponselku agar aku bisa melihat foto Awan. Kayaknya, ini lebih baik. Maksudnya, lebih baik aku merasakan sakit hati dan sedih berkepanjangan selama beberapa tahun. Asal, Awan bahagia. Apakah Awan bahagia? Aku berdoa sebanyak-banyak dan sungguh-sungguh untuk hal itu. Ya Allah, tolong buatlah dia bahagia. Bila karma buruk menimpaku setelah kejadian itu, aku menerimanya dengan lapang dada. Aku berpasrah sepasrah mungkin! Menyerahkan diriku sepenuhnya!

Apakah itu akan menjadi sungguhan? Ah, aku harusnya tidak mempertanyakan mengenai kekuasaan Allah SWT. Itu parah. Aku menjadi makhluk yang sangat hina bila berani mempertanyakan itu. 

"Putri?"

Aku melirik, melihat bocah kecil dengan gaun putihnya berdiri di pojok kamar. Seram? Tidak, aku sudah biasa dengan hal ini. Bocah itu berjalan dengan boneka gurita yang hampir melebihi besar darinya--lucu banget dia kesusahan jalan ke arahku yang padahal jaraknya tidak seberapa. Tanpa belas kasih, dia melempar sedikit bonekanya dan duduk di sampingku. Pandanganku hampir tertutupi sepenuhnya oleh wajah mungil tak berdosa nan lugu imut menggemaskan ah aku bingung berapa kata yang bisa mendeskripsikan intinya begitu. 

"Ayo ke kampus! Ayo! Ada jajan di sana ada jajan! Katanya kamu harus ke kampus hari ini?" 

Aduh, berisik bocah satu ini. Dia tidak tahu aku malas! Aku sedang kena mental ayolah! Sekarang, dia sampai menarik-narik bajuku yang bahkan tidak tersentuh. Mengguncangkan badanku juga.

"Putri... Kata mama gak boleh malas... Ayo di kampus kamu ada es krim aku mau es krim, kamu janji beliin aku es krim kalau aku jadi anak yang baik!" 

Bocah kecil ini baca pikiranku ternyata, sial. Aku hanya berbalik badan, membelakanginya. Tetapi, bocil satu ini malah berpindah posisi jadi duduk di sampingku dan mengguncangkan badanku sambil mendekatkan wajahnya. 

"Ayo, ayo, ayo, es krim, es krim, es krim!" 

"Dahlah cil, gak ada es krim." 

"Apaan, aku ngelihat kok di sana ada es krim, kemarin." 

Tambah lagi masalah, aku tidak bisa bohong kalau tidak ada es krim karena semalam aku datang bersama dia. Tampaknya di kamus hidup anak kecil ini, es krim adalah prioritas. Sisanya, chicken nugget, tidak ada gunanya dan pengaruhnya dalam hidup bahkan masalah bahaya-pun. 

Tidak menyerah, dia mengambil bantal guritanya dan melemparnya ke aku. Hm, kayak kerasa tuh, tapi berat bantalnya memang terasa sih di aku. Kesal tanpa henti diganggu apalagi dengan suaranya yang meminta es krim, aku tahu bila ini akan dibiarkan. Antara dia akan merengek terus-menerus sampai aku membelikannya atau mengatakan sejujurnya bahwa aku tidak memiliki uang, akhirnya dia menghentikan sikapnya tapi akan menagih dilain waktu. Atau, dia bakal menangis dan memanggil papa, mengadu bahwa aku itu miskin dan tidak baik karena tidak memberikan apa yang dia mau. Sungguh, aku merasa seperti memiliki anak sungguhan yang padahal dia juga tidak tahu dari mana munculnya. 

"Gak, cil. Gua gak ada uang. Tapi kalau ke kampus ayo. Lagian di sana es krimnya katanya tutup juga," balasku akhirnya setelah sekian lama tidak menghiraukannya. 

"..... Tapi ke kampus, kan?"

"Apa yang mau lu lihat di kampus, anjir?!" 

"Enggak tahu, kalau gak ada es krim, aku mau main!" 

Bahaya, dia main sama siapa coba di kampus? Penghuni asrama terbengkalai yang lokasinya dekat dengan gedung prodi-ku? Gila juga anak ini. 

Hela nafas terdengar kasar karna menunjukkan bahwa 'Iya, gua akan melakukan ini setengah hati', tapi pada akhirnya, "Ya, gua mandi dulu bentar habis itu ke kampus." 

***

Parkir, membelokkan stang motor, mematikan mesin, mengecek apakah ada barang yang tertinggal, lalu bercermin sedikit dari kaca spion. Tampak seperti orang benar yang memiliki gaji UMR berprofesi PNS ketika menggunakan batik merah bercampur warna krem terang. Bagaimana lagi? Laundry habis sering terjadi di antara mahasiswa-mahasiswi, aku yakin itu. Bajuku rapi, rambutku tidak terlihat aneh walau dikuncir--hanya khawatir jidatku jadi terlihat lebih lebar dan wajahku aneh karena tidak memakai poni. Ah, aku berubah pikiran, sekarang aku pakai poni walau kuncir kuda. Sambil membetulkan penataan rambutku, baru sadar juga bibirku belum merah merona. Lip-tint yang tadi aku masukkan ke saku celana sebelah kiri di mana ya? Sigap, tanganku mengecek. Oh, ada. Sekarang aku memasangkannya, sambil memperhatikan kantung mata yang semakin membentuk. Hum, wajar mungkin kekurangan tidur.

Ya, aku meminta maaf kepada teman-teman yang harus mengetahui isi otakku. Tapi, begitulah setiap hari. Aku akan bergumam dan terus bergumam, jarang berbicara. Bukan berarti aku tidak bisa bersosial, hanya saja minus skill. Tapi tidak apa, jika di sini aku tidak punya teman, kalian akan menjadi temanku, bukan? 

Sekarang, aku sudah rapi. Aku sudah siap bertemu orang banyak yang akan menghabiskan energiku. Senyum sedikit, putri! Aku tersenyum. 

Hingga, senyumku berubah ketika mendengar sebuah lonceng aneh. 

***

Haru (Namanya)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang