10. Lebih Baik

1 0 0
                                    

Sayur bening dengan makaroni, ditambah nasi hangat. Berpikir bila ada sambal ulek, akan menambah rasa nikmat. Sebuah mimpi kecil, karena nyata yang terjadi, aku tidak bisa memakan sambal selain tidak bisa membuatnya. Agnis menghidangkan seluruhnya di atas meja lesehan, lengkap dengan alat makan.

"Biasa masak?"

Pertanyaan basi sekali, Haru.

"Hooh. Biasa masak, syarat bertahan hidup paling utama selain nafas adalah masak."

Tidak salah, tidak benar juga. Tapi, tampang dia layaknya anak punk ini patut diacungin jempol juga, kalau masakannya enak. Jika begitu, aku memutuskan untuk mencicipi masakan dia. Masuk sendok ini tanpa embel-embel pesawat-pesawatan layaknya anak kecil, mengunyah setelahnya, meresapi dengan seluruh panca indra yang ada.

"Kalau gak enak maaf ya, mati kan opsional hehe."

Ketawa karir itu. Agnis tertawa meski wajahnya datar dan sibuk mengaduk makanannya. Shock aku, dibuatnya. Meski kalimat terjemahkan menjadi candaan yang gelap, aku shock.

Gila ini anak, sumpah.
Aku mau dibuat mati sama dia.
Mentang-mentang aku sekarat.

Agnis menoleh, bingung. "Kenapa? Enggak enak?"

"Enak."

Bohong. Ini kurang garam sebenarnya.

"Enak kok, gua selalu senang kalau ada yang masakin gua sebenarnya, gak enak sekalipun tetap gua makan."

Bohong lagi. Sebenarnya kurang yakin buat makan karena reaksi shock tadi yang dia mengatakan mati adalah opsional.

Tapi, aku kan memang mau mati?
Ah kalau gitu tidak apa.

***

Kebulan asap terbang bebas, memenuhi sudut ruang tengah kontrakan yang dihuni oleh manusia maupun non-manusia. Menyeramkan? Tidak. Sudah aku katakan itu biasa.

Catrdige yang menjadi barang penting untuk seseorang yang biasa menggunakan rokok elektrik seperti aku. Botol 30ml yang memuat cairan penuh nikotin dan memiliki rasa buah mangga, dibuka tutupnya guna mengisi ulang catridge yang sudah habis membakar liquid-liquid tersisa di dalamnya. Aku memasukkannya penuh hati-hati, karena jika tumpah, aku malas membersihkannya, juga tidak boleh terlalu penuh isinya.

Agnis sudah selesai mencuci piring-piring tadi beserta alat makan. Dia mengambil beberapa helai tisu untuk mengeringkan kedua tangan sebelum meraih sebungkus rokok untuk dibakar. Dengan peka, aku meringankan tanganku dengan mengambil asbak rokok untuknya. 

Kita berdua terdiam, menikmati rokok masing-masing. Agnis membuka HP untuk memeriksa notifikasi atau pesan yang masuk, sementara aku hanya diam menatapnya. Lama-lama tidak buruk juga lidahku, kemarin aku coba untuk nge-pod malah rasanya sedikit. Sekarang? Sudah mulai terasa seperti normal. Wah, pertanda aku sudah sembuh berkat masakan buatan Agnis juga! Aku harus berterima kasih kepadanya. 

Tapi, aku gengsi. Jadi, aku hanya melontarkan pertanyaan basi kembali, "Lu gak ke kampus lagi? Takutnya dicariin." 

"Enggak, shiftnya udah kelar. Terus, Mbak Jena nitip mbak ke aku," jawabnya lugas.

Tertawa, ini antara reaksi spontan karena tidak menyangka atau anjir momen. "Aww.... lucu banget Jena ngeselin itu peduli sama gua.... jadi uwu deh." 

Agnis bergidik geli melihatku. Senyum yang terukir ini berubah menjadi diam. "... Tenang aja gua gak gila sejak insiden-maksudnya gua gak gila karena acara kampus itu, tenang aja." 

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 03 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Haru (Namanya)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang