05. Mungkin, nanti

5 0 0
                                    

Bertukar cerita adalah hal yang aku suka. Jujur, salah satu hal yang manusia lakukan dan aku senangi–bahkan bisa aku anggap sebagai hobi–adalah diskusi, entah itu berkaitan pemikiran, pengalaman, termasuk bertuker cerita apa saja yang terjadi diantar individu yang melakoni-nya.

Itu yang dilakuin Solomo bersamaku.

Solomo baru bercerita panjang lebar tentang ibunya yang ingin menikah kembali. Tidak relate denganku, aku saja dibuang oleh kedua orang tuaku–kasarnya.

Eh, emang iya? Ah lupain.

Tapi, aku bisa memberikan prespektifku kepada Solomo. Aku cukup kompeten karena sering melakukan observasi untuk menambah pengetahuan sendiri tentang manusia. Asik saja, aku percaya suatu hari apa yang aku pelajari akan bermanfaat untuk kehidupan sehari-hariku.

Tiba-tiba ditengah ceritanya, aku mendengar suara gembok terkunci.

Ibu Solomo tidak peduli dengannya.
Solomo hanya berusaha untuk mengerti.
Dia tidak mengerti apapun.
Kodrat anak tetaplah salah.
Anak tidak akan pernah tahu.
Solomo hanya bisa bertindak demi adik.

Kalimat-kalimat tersebut melayang. Solomo hanya termenung acuh denganku yang memperhatikannya. Warna auranya gelap, biru gelap dicampur merah. Dia sedih sebenarnya, namun merah yang menunjukkan marah lebih mengarah ke emosi terpendam. Aku mendengar bahwa Solomo sebenarnya tidak ingin ibunya kembali menikah karena kepergian ayahnya masih berjarak 3 bulan. Secara etika, memang lebih baik untuk tidak memulai hubungan. Solomo sendiri bercerita kepadaku bahwa dia tidak bisa memberikan statement apa yang memotivasi ibunya ingin menikah sesegera mungkin. Ekonomi? Pendidikan? Sosial? Entah. Sepertinya mengarah ke ekonomi. Tapi, Solomo cukup berada, meski ditinggal ayahnya. Mungkin, belum saja karena masih belum jauh jaraknya.

Ah, aku sedih.
Aku merasakan kesedihan yang mendalam.
Aku tidak tahu.
Aku malah bingung dengan perasaanku.
Apakah ini namanya empati kepada Solomo?
Jarang sekali hati ini tergerak merasakan sedih, marah dan lainnya.

Aku tidak bisa memvalidasi perasaanku, tapi aku akan anggap bahwa aku turut sedih dengan keadaan Solomo, adik tingkatku yang malang.

Diamku, terlalu banyak berpikir. Aku hanya berbicara dengan kalian daritadi, isi pikiranku. Biasanya, orang menepuk pundak temannya sebagai bentuk 'sabar ya'.

Aku melakukan itu. Menepuk pundak Solomo, mengusapnya perlahan. Solomo menoleh. Tatapan sedihnya. Aku mencoba meyakinkan bahwa semua akan baik-baik saja. Senyumku, menyambar kepadanya. Auranya berubah menjadi positif. Dia lega bisa bercerita kepadaku.

Aku pun demikian, meski penglihatan satunya mengatakan hal lain. Potongan layaknya roll film terputar secara cepat dan acak, menampilkan seluruh masa lalu Solomo hingga sekarang. Baik dan buruk, tidak ada diskriminasi. Terlalu cepat hingga aku pusing sebenarnya. Banyak sekali, terlalu banyak. Suara sekitarku juga perlahan redup hingga membisu. Waktu berhenti sesaat.

Dan aku dihadapkan dua pilihan.
Pilihan yang diberikan oleh seseorang berjubah hitam dengan sorot mata putih  berdiri di samping Solomo dengan dua telapak tangan terbuka.

Aku menoleh, dan membatin.

Harusnya aku tidak seperti ini.

Solomo akan pergi seperti orang-orang sebelumnya.

Apakah kamu ingin mengingat?

Haru (Namanya)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang