08. Dunia dan 'Dunia'

4 0 0
                                    

Gua panik.
GUA BENERAN PANIK SEKARANG!

Suara sniper yang dapat menembus tank sekalipun bisa terdengar ditengah pusingnya pikiranku sambil berlari. Lebih bodohnya apa? Akhirnya aku menggunakan ponselku untuk berlari KE ARAH HUTAN DI BELAKANG ASRAMA TERBENGKALAI INI KARENA AKU BERPIKIR JIKA AKU KABUR DARI WANITA BIADAB ITU DENGAN BERSEMBUNYI DI ASRAMA TIDAK AKAN MEMBANTU!

KENAPA SITUASI SEPERTI INI HARUS AKU HADAPI DI TENGAH PERISITIRAHATANKU UNTUK MELEPAS PEKERJAAN BAIK DI DUNIA MANUSIA MAUPUN DI DUNIA SURASTRAL?! TUHAN INGIN AKU MELAKUKAN APA SIH?!

Tidak, MEREKA TUH SEBENARNYA KENAPA SIH?!

Langkah ini terhenti ketika melihat di depanku ada makhluk dengan sayap lebar dan taring panjang. Dia siluman babi dan, hah? Dia kepalanya babi tapi ada sayap kelelawar?! Tinggi kurang lebih dua meter dengan badannya yang berotot, lapisan aura dia lebih kuat berarti dia tingkatan kelas B. Matanya merah menyala dan menatapku penuh dengan hawa nafsu, seperti siap menerka dan memakanku hidup-hidup.

Aku menggertakkan gigiku kesal. Jari telunjukku tiba-tiba mengarah ke makhluk tersebut, lalu berkata, "Kitsune!"

Siluman rubah ekor sembilan dengan kuku tajam nan panjang di setiap jarinya, melompat dari belakangku. Matanya berwarna kuning menyala, menatap bengis makhluk tersebut sambil menunjukkan taring-taring tajam di mulutnya. Cepat dan tepat, dia langsung menyerang dengan mencabik habis-habisan siluman berkepala babi yang hendak menyerangku tanpa ampun. Ini memberikanku waktu untuk berpikir langkah selanjutnya karena,

KENAPA BANYAK BANGET ANJIR MEREKA?! DARIMANA MEREKA SEMUA?!

Hanum masih sibuk mencoba menyerang wanita tadi. Wanita itu harusnya kelas A, bisa dilumpuhkan dengan mudah tapi apa karena bulan purnama makanya mereka bertambah kuat dan banyak?! Kitsune juga sibuk, Aji juga sibuk.

Hayo tebak, terus gua ngapain diem begini? TARIK NAFAS, GUA MASIH GAK BISA MENGONTROL DIRI GUA SENDIRI.

"AGH!"

Rintihku sakit ketika jatuh karena di dorong seseorang. Mataku melebar, menerka siapa dia. Leher ini terasa sakit dicekik beserta badanku yang berat menopang tubuh di atasku. Sekuat tenaga aku coba untuk melepas, hingga perlahan aku mengomat-ngamitkan seluruh hafalan-hafalan surah yang pernah aku pelajari semasa sekolah.

"Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang-"

"Sekarang aku tahu mengapa kamu lari dari ku, putri manis! Kamu menghalangiku, kamu juga yang mencoba membunuhku saat itu, bukan? HIYAHAHAHAHAA AIB RONGSOKAN SAMPAH, seperti mu kenapa tidak mati saja saat itu?"

Ternyata itu adalah wanita tadi. Dia membuka mulutnya lebar-lebar, menunjukkan taring tajam dan juga belatung yang menggerogotinya. Aku tidak jijik, cuma takut dimakan saja! Dengan kuat, aku mencoba untuk memutuskan tangannya.

"Kamu tidak-kh... mengetahui... apapun! A-khak... bukan... dia-"

Ngilu. Entah kenapa rasanya dingin di sini. Kabut hitam menyelimuti kami semua. Ah, mungkin Zakriel mendengarku. Aku hampir kehilangan kewarasan dan kehabisan oksigen. Hari ini menjadi hari kematianku. Ah, sudah waktunya mungkin?

Sakit rasanya menyakini bahwa aku memang harus mati sendiri. Mati dalam keadaan mengenaskan. Tapi, bila itu demi kebaikan umat manusia dan dunia ini, tidak apa.

Mungkin, takdir?-

"GRAHAAAAAA HAAAAA TERKUTUK SEMUAAAA ENYAH!"

Rintihan menyakitkan dari seorang perempuan terdengar begitu nyaring nan menakutkan. Aku masih terkulai lemas dan perlahan mendapat oksigen kembali. Aku gak jadi mati? Lah? Tapi kayaknya perempuan itu akan mati karena aku bisa dengan jelas mendengar suara cabikan. Perempuan itu dengan jelas meminta enyah sesuatu itu. Aku tidak tahu, tidak bisa melihatnya.

Yang jelas, kabut hilang dengan cepat, seperti tersapu oleh angin ketika ada seseorang yang menghampiriku. Hanya siluet yang yang terlihat, tapi suaranya, familiar.

"Diem aja." 

Agnis? Ah, mana mungkin? Solomo juga tidak mungkin. 

Badanku diangkat seketika. Aku ingin memeluknya tiba-tiba tapi masih lemas--lebih ke reflek karena takut jatuh sih makanya pengen meluk. Dia membawaku jauh dari sini dengan cepat, belari yang aku harap dia tahu ke mana harus lari. Aku bisa melihat ke belakang dia, wanita tadi benar-benar dihabisin oleh suatu bayangan. Entitas, yang tidak dapat dijelaskan. Bentrokan aura hingga menyebabkan ledakan aura juga terjadi. Oh, aku berperang lagi? Aku harusnya tidak berperang di sini. Ini masih wilayah kampus. 

Aku tidak tahu sampai kapan aku dibawa lari. Tapi, akhirnya dia berbelok ke kiri. Oh, ada penerangan. 

"Ha?" ucapku kaget melihat siapa yang membawaku. 

Agnis tidak menoleh ke arahku. Dia melihat sekitarnya, begitupun aku. Kita ada di jalan setapak, hanya motor yang bisa melalui jalan ini karena kecil dan tidak rata juga. Ini biasanya menuju belakang asrama terbengkalai yang masih sedikit hutan. Lampu itu berkedip-kedip, seperti mau habis masa-nya. Agnis terengah-engah. 

"Bisa jalan gak?" tanya dia tiba-tiba. 

Aku langsung sedikit mendorongnya agar Agnis melepaskanku, dan dia melakukannya. Hampir jatuh, namun bisa mendarat. Sigap, aku berdiri dan membersihkan bajuku. 

"Lu ngapain?!" tanyaku sedikit kesal. "Buruan ke kampus lagi!" 

"Ke kampus?" tanya kembali Agnis kepadaku dengan raut wajah sedikit kesal. "Mbak yang harusnya ke kampus!" 

Loh, kok malah dia yang ngatur? Dia tidak mengerti ini situasi berbahaya. 

"Di sini bahaya, balik ke kampus!" ucap kami berdua bersamaan, lalu diam juga bersama. 

Agnis apaan sih?! Dia sok tahu banget! Enggak, ini urusan akan menjadi besar kalau dia ikut-ikutan! Gimana caranya mengusir ini anak agar semuanya bisa terselesaikan dengan cepat?! 

"Lu gak harusnya di sini! Lupain dan tutup mu-" 

Ketika tanganku hampir menunjuk ke arah kampus untuk menyuruhnya kembali dan juga sebagai bentuk rasa kekesalanku agar dia menurut, Agnis menggenggam tanganku dengan erat. Tatapannya mendalam.

"Berisik!" marah Agnis. 

Aku diam sesaat, tak lama kemudian Agnis memelukku. Aku terkejut, ditambah dia melakukan sebuah putaran yang ternyata mencoba untuk membuat kami bersama menghindar dari seseorang. Makhluk tersebut terpelanting cukup jauh, hampir mengenai kita ternyata. 

[Hundo]

Satu kata terlontar dari mulutku, menghanguskan makhluk tadi tidak tersisa hingga menjadi abu yang terbang menghilang gitu saja. Hanum turun dari salah satu pohon lalu mengokang senjatanya ke arah Agnis. 

"DIA BUKAN-" 

Hampir saja Hanum menembak mati Agnis, tiba-tiba suatu entitas bayangan hitam menyerang Hanum hingga terdorong jauh masuk ke hutan. Aku melepas pelukan Agnis dan menyatukan tanganku kembali hingga membentuk segitiga. 

[Null] 

Sisa staminaku habis untuk menetralkan aura di setiap sudut dengan radius yang tidak cukup jauh. Ah, sekarang aku sedikit buram penglihatannya. Hanum bagaimana ya? Dia akan baik-baik saja, mungkin. Tapi, bohong bila aku tidak khawatir keadaannya yang masih diserang oleh entitas tersebut. 

"Bangsat apa aja sih ini isi-nya?!" kesalku tiba-tiba lalu menoleh ke Agnis. "Itu punya lu?" 

Agnis malah bertanya hal yang sama juga, "Itu punya mbak?" 

Lalu, kita berdua terdiam. Awkward moment. 

Haru (Namanya)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang