06. Sandiwara

8 1 0
                                    

Agnis menatapku lekat-lekat, tidak ingin melepasnya. Seakan-akan juga bahwa dia menunjukkan bahwa aku tidak bisa kabur dari situasi ini.

"Mbak ada yang jagain, kan?"

Kalimat tersebut.
Bagaimana dia bisa tahu?
Tidak, seharusnya tidak ada yang tahu tentang aku dan dunia sebelah. 

"Jagain?" tanyaku pura-pura lugu sambil celingak-celinguk. "Enggak ada." 

Nyatanya, Hanum dengan sorotan mata bengisnya berdiri tidak jauh dariku, siap-siap mengkokang sniper. Begitupun dengan penjagaku lainnya yang berbagai macam jenis. Mereka semua bersiaga seakan-akan siap menghilangkan jejak di tempat langsung dengan bersih.

Agnis tersenyum, dengan misterius dan caranya sendiri. 
Dan dengan itu, aku tidak mengetahui apapun, dan menerima keadaan ini. 

"Hoo, yaudah," balas singkat dari Agnis. 

"Emangnya di belakangmu ada siapa?" tanyaku penasaran. 

Ayo bermain tebak-tebakkan. Agnis akan menjawab pertanyaanku dengan jujur atau dia akan menjawab pertanyaanku dengan nada meremehkan karena aku habis berbohong kepada-nya? 

Agnis tersenyum, lebih lebar. Ketika itu, samar-samar aku bisa melihat sesosok yang ada di belakangnya.

Sesosok itu juga mengatakan sesuatu kepadaku,
"Kamu tahu, bukan?" 

Merinding, tidak main. Aku tidak ingin memulai gesekan pertingkaian. Tapi, gesekan aura ini terlalu kuat. Sedetik berlalu, kita seperti menunjukkan siapa kita sesungguhnya. 

Agnis menatapku. 
Aku menatap Agnis. 

"Enggak ada sih, hehe. Cuma mau nakut-nakutin aja," kata Agnis cengegesan. 
"Jelek sih, berarti lu stalker ya bangsat," jawabku kesal. 

"Yak! Kayaknya kita bisa bikin keluarga mulai dari sekarang, yay!" kata Solomo sambil merangkul kita berdua layaknya pelukan teletabis. 

"Apa sih anjing," jawabku tambah kesal. 

Solomo terlihat bahagia, tapi ketika mataku melihat ke arah Agnis. Agnis hanya tersenyum yang.

Palsu.
Sekali. 

***

Aku ingin mengutuk Solomo dengan 1001 kata sumpah serapah berbagai daerah yang ada di Indonesia. Iya, aku tahu, dengan kesadaran penuh bahwa aku memang menganggur dari awal datang. Tidak, dari awal acara ini berjalan sudah menganggur karena pekerjaan utamaku--mengumpulkan pundi-pundi dan memalak perusahaan besar agar memberikan kita bentuk bantuan fresh money--sudah selesai. Perasaan malas ini sekaligus emosi yang bercampur aduk menggerogoti hingga ubun-ubun. Solomo dengan cengagas-cengenges tai anjing itu hanya mengacungkan jempol, berdiri di hadapanku dan Agnis. 

"Please ngab," mohon Solomo kepadaku. "Bisa lah lu berdua kerjasama, gua kekurangan orang, hehe." 

LU GAK KEKURANGAN ORANG, SOLOMO. ANAK FORUM KOMUNITAS ITU TERLALU BANYAK, KOMUNITASNYA AJA YANG KEBANYAKAN MAKANYA KALAH. 

Istigfar, aku harus sabar menghadapi ketololan berikutnya dari Solomo. Kepala ini reflek menoleh ke Agnis yang hanya diam, lalu menatapku juga. Berharap dia mengatakan sesuatu juga tapi aku lupa kalau dia angkatan bawah dan tidak akan melawan keinginan yang lebih tua dari dia. Huh, perawakan Agnis saja kayak preman pasar malam cuma cabang Jogja, tapi kenapa penurut gini? Ah, kita gak pernah tahu hati orang. 

"Bayarnya kopi baik." 

"Oke sepakat." 

Aku dan Solomo berjabat tangan, disaksikan Agnis yang mengerutkan keningnya. Solomo menyampaikan salam perpisahan sementara karena dia harus mengurus yang lain, sementara aku ditinggal berdua sama Agnis. 

Haru (Namanya)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang