Tanpa Reka, memang Fino bisa apa?
Pertanyaan seperti itu kini hinggap saat Fino sudah naik ke dalam bis yang melaju entah kemana.
Jemarinya saling meremat, untuk menenangkan dirinya. Fino tidak menatap siapapun yang ia temui, malah Fino hanya fokus ke luar jendela. Ia menghela nafas, pura pura tenang padahal hatinya begitu takut dan marah kepada Reka. Rasa mengganjal itu bahkan semakin besar ketika ponselnya tidak berhenti bergetar.
17 panggilan tak terjawab, 11 pesan baru dari Reka.
Fino menggigit bibirnya, dengan gugup ia turun dari bis lalu berjalan tak tentu arah setelah mengabaikan ponselnya.
Seketika Fino teringat dengan sebuah kartu nama yang diberikan oleh paman asing yang ia temui di taman waktu membuat V-blog kemarin.
Dalam hati ia pikir, mungkin paman ini bisa membantu Fino.
Dengan bantuan maps, Fino bisa dengan mudah menemukan alamat yang tertera di kartu nama yang ada di tangannya saat ini. Yang perlu ia lakukan adalah menghitung berapa banyak uang yang ia miliki. Sepertinya akan cukup untuk satu kali perjalanan pulang pergi menggunakan kereta dan naik bis untuk pulang.
"Permisi..." Fino bertanya pelan, tanpa sadar tangannya memegangi lengan baju seseorang yang ia jumpai. Sebuah kebiasaan yang sebenarnya selalu ia lakukan pada Reka.
"Iya?" Jawab wanita itu. Dia berhenti sejenak mencicipi roti lapis di tangan kanannya lalu menatap penuh kearah Fino.
"Boleh tanya... um, dimana stasiun kereta?" Sebagian dalam diri Fino bertanya tanya, apakah orang orang didepannya ini akan menatapnya aneh. Maksudnya, di jaman sekarang ini... siapa yang masih bertanya tentang suatu tempat di kotanya sendiri.
"Oh lumayan dekat, dek. Lurus saja, nanti didepan bank ada papan arah jalan, belok kanan nanti ketemu deh stasiun keretanya."
Fino mengangguk mengerti, setelah berterima kasih ia segera berjalan. Ia terus bergumam tentang arah jalan yang harus ia lalui, sesuai arahan wanita tadi.
"Ada bank... belok kanan." Terus bergumam sampai ia menemukan tangga yang mengarah ke stasiun kereta bawah tanah. Meski sedikit takut karena keadaan sekitar sudah semakin sepi, namun Fino tidak berhenti.
Fino duduk di kereta ini, menatap pantulan dirinya di kaca hitam besar di seberang tempatnya duduk. Ada beberapa orang yang menatap kepadanya dan sontak membuat Fino menunduk memperhatikan sepatunya saja.
Kebisuan ini membuat Fino ingat tentang Reka yang marah. Fino masih belum berani membuka ponselnya yang sejak tadi tidak berhenti bergetar. Membuat Fino mengingat ingat hal yang menyebabkan Reka marah, hal yang tidak Fino pahami. Tentang dirinya yang melakukan hal baru? Tentang V-blog? Tentang sosial media? Apa salahnya tentang itu... memang apa salah Fino jika ia memberitahu sedikit tentang dirinya di sosial media?
"Mau kemana?"
Tiba-tiba, pikirannya terhenti ketika ada seorang pria asing duduk sangat dekat dengan Fino, tersenyum aneh dan bertanya dengan nada seolah olah mereka mengenal satu sama lain.
Fino menggeser tempat duduknya lalu menunduk, ia tidak menjawab sama sekali.
"Pergi dengan muka kebingungan kayak gitu gampang ngundang orang jahat loh." Ucapnya lagi, meski pria ini tidak ikut mendekat namun Fino begitu tidak nyaman dan merasa takut. Sampai sampai Fino berharap jika kereta ini segera berhenti dan ia bisa segera keluar.
"Hey, mending ikut sama om yuk? Yang kayak kamu pasti banyak yang suka." Dari perkataan ini, Fino sudah mulai merasa hal aneh dan menakutkan. Apalagi ketika ia merasakan usapan menjijikan pada tangannya. Rasanya, seluruh inci pada tubuh Fino memberikan peringatan bahaya saat ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Boyfriend has a Little Space 3
RomanceReka menepati janji, yaitu bisa hidup bersama dengan Fino selamanya. Namun tentu saja banyak hal yang mereka lalui bahkan setelah janji manis itu tercapai. Mereka mengalami kesulitan, tapi keduanya tidak pernah menyerah pada satu sama lain. Inila...