01. LINGKUNGAN TOXIC

29 15 3
                                    

Primara meletakkan tangannya di atas meja, menyenderkan kepalanya yang sedikit pusing. Hari pertama setelah MPLS ini hanya diisi perkenalan dan sisanya kosong. Benar-benar hampa. Gadis itu bahkan tidak berminat untuk sekedar mengulurkan tangan. Mencari teman yang bisa diajak berkomunikasi.

Menggulir beranda handphone nyatanya tak mampu menghilangkan rasa bosan. Baterainya kini sudah sangat sekarat. Primara memasukkan handphonenya ke dalam saku lalu keluar dari kelas suntuk itu.

Kaki jenjangnya terus menapaki keramik putih yang sedikit berdebu. Efek belum dijadwalkan piket setelah libur panjang. Primara memilih berkeliling sambil memutar earphone. Gadis itu cukup penasaran dengan apa saja yang ada di sekolahnya barunya.

Citra pelajar memiliki fasilitas yang standar, sama seperti sekolah lainnya. Mungkin memang reputasinya saja yang buruk sebagai akibat dari sikap anak didik yang kurang dikendalikan. Primara bertanya-tanya sekarang, apa gunanya BK?

Primara melihat segerombol murid laki-laki yang sedang menghisap batangan rokok di kantin pojok. Mereka bermain game dengan sangat berisik. Tak lupa dengan satu kaki di atas kursi memberikan kesan tidak sopan. Primara menghampiri. Iya membeli jajanan untuk menanyakan tentang situasi ini kepada ibu kantin.

"Kok nggak di tegur, Bu?" Primara memberikan selembar uang.

Ibu kantin yang sudah mengerti arah pembicaraan primara itu pun menjawab. "Saya mana berani mbak. Mereka memang seperti itu. Guru-guru saja sudah kuwalahan menghadapi sikap mereka."

"Apa orang tuanya nggak pernah di panggil ke sekolah?"

"Sebenarnya sudah sering. Cuma ya, namanya orang tua jaman sekarang mbak. Lebih ngebela kelakuan anaknya. Bagi mereka merokok itu tidak mengganggu pelajaran."

Primara benar-benar tidak habis pikir. "Ya udah makasih, Bu."

Gadis itu memilih duduk di meja kantin paling depan. Jangan harap ia mau terkontaminasi oleh asap rokok yang mematikan itu. Primara sangat anti. Tangannya beralih membuka kemasan burger yang dibelinya tadi. Lumayan enak dengan harga lima ribu rupiah.

"Gue harap ini cuma mimpi."

•••

"Amara tunggu!"

Primara menghentikan langkahnya. Gadis itu berbalik badan.

"Bukan Amara, tapi Primara."

"Eh salah ya? Maaf deh. Boleh bareng nggak? Aku belum punya temen soalnya." Gadis berkacamata di depan Primara tersenyum ramah.

"Jadi, kalau lo udah punya temen. Lo nggak bakalan bareng gue?"

"Nggak juga. Kan kebetulan aku ketemunya sama kamu."

Primara berjalan santai. Gadis berkacamata itu mensejajarkan langkahnya dengan Primara.

"Jadi, nama lo?"

"Aruma, pindahan dari Malang."

"Oh, pantesan." Primara menoleh sekilas.

"Kenapa?" Gadis berkacamata itu tampak bertanya-tanya.

"Keliatan aja dari cara ngomong lo barusan."

"Aku nggak pede soalnya pake gue-lo. Nanti kesannya medok banget lagi. Kan nggak pantes" Aruma tertawa kecil. Primara hanya manggut-manggut.

METAMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang