Bab 1

24 2 0
                                    

Cerah sekali.

Bagi Hestia, langit sedang memperlihatkan versi terbaiknya. Matahari masih betah menjadi penerang, awan yang seolah bergerak perlahan, udara sepoi-sepoi menimbulkan suara gemerisik setiap menyentuh daun-daun pepohonan, suasana yang begitu lengang menambah kesan nyaman. Hestia sangat suka.

Si gadis muda bernama Hestia, penghuni rumah tersebut, memilih berteduh disana. Tanpa beralaskan apapun, Hestia duduk di teras berlantai keramik yang dingin, bersandar di dinding penyangga rumah berpangkukan sebuah gitar akustik. Fokusnya ia curahkan penuh pada jari-jarinya yang terlihat bergetar. Jelas jari-jari itu berusaha keras bertahan di setiap senar demi menghasilkan melodi gitar yang indah. Hestia sangat berusaha. Kerutan dahi yang begitu dalam dan gestur tubuhnya yang siap menunjukkan betapa serius dirinya menekuni benda yang sebelum ini belum pernah ia beri atensi sama sekali.

Setiap kali dirinya yakin telah menekan senar di kolom yang tepat dan jari tangannya yang lain mulai memetik senar satu per satu, berkali-kali juga dia menahan diri untuk tidak melemparkan gitar tersebut sebab bukan melodi indah yang terdengar melainkan bunyi menyebalkan yang jauh dari harapannya. Tiap kali hal itu terjadi, Hestia hanya mampu meneriakkan gerutuan diikuti dengan kata-kata, "Gimana, sih?!"

Hestia kesal. Merambas dengan asal senar demi menyalurkan kekesalannya lalu memutuskan untuk memindahkan benda berdawai itu dari pangkuannya ke lantai agar bisa leluasa beristirahat untuk yang ketujuh kalinya dalam satu hari itu. Hestia melemaskan badan hingga membuat badannya yang tengah duduk bersandarkan dinding merosot tidak sampai telentang ke lantai. Hestia melihat ke depan, menekukkan bibirnya ke bawah sambil tetap menggerutu, dalam hati mengeluh betapa sulitnya belajar memainkan gitar.

Ia bersyukur, suasana di sekelilingnya cukup membantu menenangkan kepalanya yang panas. Diliriknya gitar akustik berwarna cokelat itu. Padahal benda itu benda yang cantik dan nampak mudah dimainkan melihat beberapa bintang yang tampil di televisi atau konser bisa dengan lihai memetik serta menggenjereng, bahkan terkadang sambil berlari dan jungkir balik di panggung. Hestia benar-benar menganggap remeh sebelum menyadari bahwa dirinya tidak memiliki jiwa berseni musik sama sekali. Sia-sia sudah semangat yang sempat dia bangun setelah memutuskan ingin belajar bermain alat musik bernama gitar. Yah, ingin menyesal pun tidak bisa sebab Hestia sudah berjanji akan tampil di acara ulang tahun temannya.

Hestia tersenyum getir membayangkan wajah bodohnya satu bulan lalu yang dengan bangga dan yakin bisa belajar bermain gitar dalam waktu dua bulan secara otodidak. Temannya yang baik hati sudah menyarankan agar pakai les saja namun Hestia kekeuh ingin otodidak sebab kursus membutuhkan uang sementara menghamburkan uang bukan gaya Hestia sama sekali.

Sedikit perkenalan, Hestia adalah gadis paruh baya berumur lebih dari dua dekade dan sekarang tengah menekuni pendidikan S2 bidang sastra di sebuah universitas di suatu daerah di bumi pertiwi. Hestia menganggap dirinya sama biasanya dengan gadis-gadis lain di luar sana; yang tak bisa dikatakan istimewa dan tidak memiliki kemampuan khusus di bidang apa pun, baik dalam bidang seperti seni musik dan lukis atau bidang seperti arsitektur dan merakit bom. Dirinya hanya gadis payah yang kebetulan bisa mengikuti bidangnya sekarang-sastra-dan siapa sangka bisa melanjut hingga ke tingkat menyusun disertasi. Yah, Hestia sendiri hanya menganggapnya keberuntungan belaka yang didapat oleh sekian banyak orang di muka bumi.

Hestia banyak melihat orang pintar dan jenius di televisi seperti Albert Einstein dan Tuan Thomas Alfa Edison dan bahkan aja pula di sekitarnya dengan berbagai keahlian. Bisa melakukan penemuan baru yang terpendam di dasar bumi, menciptakan benda-benda dengan sejuta manfaat bagi kelangsungan makhluk hidup.

Berbeda dengan dirinya yang levelnya jauh di bawah para manusia berjasa bagi dunia itu. Bagi Hestia, jangankan menciptakan benda, memetik gitar dengan nada yang pas saja tidak mampu. Menyedihkan sekali menjadi Hestia dan lebih menyedihkan lagi memikirkan keturunannya nanti apabila mewarisi gen menyedihkan miliknya. Hestia harap tidak perlu menikah supaya tidak ada generasi yang kelak menyalahkannya nanti bila nasibnya menurun. Hestia tidak menganggap dirinya diberikan hidup yang menyusahkan sebab dirinya memang jarang menemui kesusahan. Namun menjalani hidup membosankan tanpa keistimewaan sama sekali juga terdengar seperti nasib sial.

Puncak RenjanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang