Hestia memutar mesin-mesin di memorinya kembali ke beberapa hari yang lalu dimana saat itulah terakhir kali dirinya berbicara dengan Yuta.
Tidak ada yang aneh pada 'Yuta beberapa hari yang lalu' saat tengah berjalan keluar dari kelasnya; masih terlihat Yuta yang seperti biasa, masih dengan tas punggung abu-abunya, masih berpenampilan kasual dengan baju kaos putih yang sedikit kedodoran yang disandingkan dengan kemeja hijau kotak-kotak, masih juga dengan rambut panjang yang berkilauan akibat minyak rambut, tidak lupa jam tangan kesayangannya hingga ketika pemuda itu bertemu pandang dengan Hestia yang tengah menunggu juga masih seperti biasa.
"Hes!"
Ingatan saat Yuta melambai setelah berteriak memanggil namanya kembali menyeruak. Pemuda itu memang bukan sosok ceria yang menebar senyumnya di mana-mana. Namun di bayangannya hari itu, Hestia sangat yakin bahwa Yuta seratus persen dalam keadaan baik-baik saja walau tak nampak adanya senyum di wajahnya. Sehingga kesimpulannya masih tetap seperti pandangan Hestia di awal, tidak ada yang aneh. Setidaknya sampai beberapa jam ke depan.
"Bawa kameraku?" Yuta yang ditanyai mengangguk. "Mana?" tanya Hestia lagi.
Yuta menunjuk tas yang tersandang di punggungnya. "Dalam tas."
"Kameranya punya tas sendiri, kenapa dimasukkan ke dalam?"
"Malas nentengnya."
"Kebiasaan, malas dipelihara."
"Ya sudah, pelihara Kau saja, boleh? Lebih banyak manfaatnya, kan?" Hestia melempar senyum kesal dibalas dengan kekehan pertama yang Hestia dengar keluar dari mulut Yuta di hari itu. Tawa itu jelas menunjukkan sosok Yuta yang baik-baik saja.
Rencananya adalah pulang bersama sekalian singgah di kedai kopi milik keluarga jauh Yuta. Bukan hanya Hestia dan Yuta, Damar beserta beberapa orang lainnya seperti Julian, Sumita, Olin ikut meramaikan. Kedai kopi tujuan mereka merupakan kedai kopi milik sepupu jauh Yuta yang akan diresmikan hari itu juga.
Berhubung Yuta memiliki hubungan yang tidak menyenangkan dengan sepupu jauhnya sementara dia dipaksa untuk menghadiri peresmian kedai kopi itu, dengan senang hati Yuta membawa temannya agar tidak mati bosan saat acara nanti.
Setidaknya begitulah cerita di balik ajakannya. Diam-diam Yuta mengatakan bahwa dirinya berharap teman-temannya membuat kekacauan yang tentu langsung ditolak mentah-mentah. Tujuan mereka mau ikut adalah menikmati rasa kopi secara gratis kedai yang 'katanya' tergolong elit itu.
"Memangnya buka kedai perlu acara resmi segala, ya?" Olin yang tiba-tiba meminta ikut membuka suara.
"Yah, namanya juga kebiasaan rakyat burjuis. Kita golongan sudra cuma bisa mencicipi kopi gratisan."
"Sebesar apa sih kedainya?"
"Tanya Yuta. Dia yang punya."
"Padahal kita sedang menuju ke sana. Sebentar lagi juga Kau akan lihat."
"Biar ini otak sesekali bisa dipakai berimajinasi."
"Berimajinasi apanya. Tinggal tunggu. Banyak tingkahnya waktu sudah di sana saja, jangan disini." Damar langsung tertawa terbahak-bahak melihat Olin yang mengerucutkan bibirnya kesal karena perkataan Yuta barusan.
Entah apa yang ada di pikiran Yuta waktu itu sampai punya ide menyuruh teman-temannya yang tak berdosa membuat keributan di tempat yang jelas-jelas bukan 'kedai' seperti di pikiran Hestia. Apa dari awal Yuta tidak bisa menggunakan kata yang lebih pantas disandangkan pada gedung besar nan mewah itu daripada menyebutnya sebagai 'kedai'? Hestia merasa seolah yang di depannya saat itu bukanlah kedai kopi biasa, tapi kafe-ah, bukan, lebih tepatnya restoran berkedok kafe. Mau dikatakan hiperbola pun memang dasar kenyataannya gedung yang dipakai untuk disebut kedai kopi itu terlampau besar dan terkesan boros sekali. Pantas saja pakai ada acara peresmian segala, yang punya bukan sembarang kaum burjuis.
KAMU SEDANG MEMBACA
Puncak Renjana
RomansSalam dariku yang belajar mengenal arti cinta dari seseorang yang kuharap tidak pernah kukenal. - Hestia. *** Hestia tidak pernah membayangkan tragedi mengerikan seperti ditikam oleh teman sendiri akan terjadi padanya. Tanpa disengaja, tragedi ini m...